Sektor industri pesawat terbang dunia telah berkomitmen mendukung net zero emission pada 2050. Komitmen ini dipenuhi melalui penggunaan bahan bakar penerbangan yang rendah emisi atau dikenal Sustainable Aviation Fuel (SAF). Seperti apa kebutuhan dan peluang sawit di pesawat terbang?
Dalam satu dekade terakhir, pembicaraan kontribusi maskapai penerbangan sebagai penyumbang emisi karbon telah menjadi pembicaraan publik. Dikutip dari situs weforum.org bahwa sektor penerbangan berkontribusi atas sekitar 2,5% emisi CO2 global, dengan sebagian besar pesawat ditenagai oleh bensin dari bahan bakar fosil. Komisi Eropa memperkirakan bahwa pada pertengahan abad ke-21, permintaan terhadap kebutuhan maskapai pesawat terbang dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca hingga 300% lebih tinggi dari tingkat tahun 2005 jika tidak ada terobosan kebijakan untuk menguranginya.
Tingginya emisi karbon di angkasa ini juga dipengaruhi pertumbuhan penumpang maskapai di seluruh dunia. Dari data World Bank, jumlah total penumpang maskapai di dunia sebanyak 1,97 miliar pada 2005. Lima tahun berikutnya pada 2010, ada pertumbuhan penumpang sebesar 35% menjadi 2,67 miliar penumpang. Jumlah pengguna maskapai pesawat terbang di dunia tumbuh sampai 68% menjadi 4,46 miliar orang pada 2019.
Upaya menekan emisi karbon di angkasa dilakukan melalui penggunaan bahan bakar pesawat terbang yang rendah emisi karbon atau Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (SAF). Bahan bakar maskapai pesawat yang rendah emisi bersumber dari hidro karbon terbarukan yang tidak berbasis bahan bakar fosil. Bahan baku ini bersumber dari minyak jelantah, limbah pertanian, dan biomassa kehutanan.
Saat ini, banyak maskapai penerbangan telah membuat komitmen pada tingkat penggunaan bahan bakar berkelanjutan dan ini terus berkembang. ICAO memperkirakan pada tahun 2019 penggunaan bahan bakar oleh maskapai pesawat yang rendah emisi karbon mencapai 8 miliar liter pada 2032 (dari level saat itu sebesar 6,45 juta liter).
Industri penerbangan telah mengadopsi tujuan untuk mencapai emisi karbon nol bersih pada tahun 2050. Pada bulan Oktober, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) PBB memimpin negosiasi selama dua minggu yang melibatkan 184 negara untuk menyepakati langkah-langkah pengurangan emisi CO2. Ini termasuk peningkatan teknologi pesawat inovatif, “merampingkan” operasi penerbangan dan peningkatan produksi dan penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF).
“Pengadopsian tujuan jangka panjang baru transportasi udara oleh negara-negara ini, mengikuti komitmen serupa dari kelompok industri, akan memberikan kontribusi penting bagi inovasi hijau dan momentum implementasi yang harus dipercepat selama beberapa dekade mendatang untuk akhirnya mencapai penerbangan bertenaga bebas emisi, ”kata Presiden Dewan ICAO, Salvatore Sciacchitano seperti dikutip dari situs weforum.org.
Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan dapat mengurangi emisi hingga 80% menurut International Air Transport Association (IATA). SAF dapat dibuat dari beberapa sumber mulai dari limbah pertanian hingga karbon yang ditangkap dari udara
IATA memperkirakan bahwa SAF dapat berkontribusi sekitar 65% dari pengurangan emisi yang dibutuhkan oleh penerbangan untuk mencapai net-zero pada tahun 2050.
Apical Produksi Bahan Bakar Pesawat Rendah Emisi
Apical melalui anak usahanya Bio Oils membuat inovasi untuk menghasilkan bahan bakar pesawat yang rendah emisi karbon. Perusahaan menggandeng CEPSA, kelompok usaha asal Spanyol, yang berpengalaman dalam pengembangan proyek industri besar dan produksi bahan bakar. Serta pengetahuan pasar Eropa dan tujuan dekarbonisasi pelanggannya di sektor transportasi.
Bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF) sebagian besar pasokan bahan bakunya dari limbah dan residu pertanian Apical. Fasilitas tersebut akan berlokasi di La Rábida Energy Park Cepsa di Provinsi Huelva, Spanyol.Usaha patungan baru diumumkan di La Rábida Energy Park dengan menghadirkan Juan Manuel Moreno Bonilla, Presiden Pemerintah Daerah Andalusia; Maarten Wetselaar, CEO Cepsa Oscar Garcia, CEO Bio-Oils; Dato’ Yeo How, President, Apical; Pratheepan Karunagaran, Direktur Eksekutif, Apical; dan Lamberto Gaggiotti, Kepala, Energi Hijau, Apical.
Aliansi ini menandai masuknya Apical ke pasar bahan bakar penerbangan berkelan jutan atau Sustainable Aviation Fuels (SAF) dan menjadi strategi Royal Golden Eagle (RGE) dalam memproduksi berbagai bahan bakar sebagai upaya mendekarbonisasi transportasi udara, laut dan darat.
Pabrik baru ini dijadwalkan mulai beroperasi pada Semester 1 tahun 2026, yang memproduksi setiap tahunnya 500.000 ton SAF dan/atau bahan bakar penerbangan berkelanjutan. Memungkinkan pengurangan emisi CO2 hingga 90 persen, dibandingkan dengan bahan bakar tradisional.
Bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF) dipandang sebagai solusi menuju masa depan tanpa emisi. Namun, tantangan global untuk produksi SAF adalah akses kebahan baku (limbah terbarukan dan bahan baku residu). Sebagai pengolah minyak nabati terintegrasi global yang besar, Apical mampu mengekstraksi limbah dan residu secara efisien dan berkelanjutan dari rantai pasokan dan prosesnya dengan cara yang transparan dan dapat dilacak (traceable).
Fasilitas baru ini akan menampilkan teknologi terbaru untuk produksi biofuel generasi kedua. Dirancang sebagai pabrik yang berorientasi digital, operasi baru ini menggabungkan teknologi canggih termasuk kemajuan industri terbaru dalam kecerdasan buatan, internet of things (IoT), dan analisis data untuk memaksimalkan efisiensi proses, dan memastikan standar keselamatan dan keamanan tertinggi dan perlindungan terhadap lingkungan. Dengan memanfaatkan inovasi, Apical dapat mempercepat operasi berkelanjutannya yang sejalan dengan Pilar Ke-3 (Inovasi Hijau) Apical 2030 dari peta jalan keberlanjutan strategisnya.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 139)