Drama minyak goreng terus berlanjut dan kita disuguhi phenomena yang ironis. Indonesia adalah produsen CPO terbesar di dunia, namun disini terjadi kelangkaan minyak goreng dan menyebabkan rakyat menjerit. Menteri Perdagangan menyerah dan menuding ini adalah ulah oligarkhi pengusaha sawit besar yang tamak. Sampai akhirnya Presiden Jokowi terpaksa memukul palu godamnya … STOP ekport minyak goreng dan bahan baku minyak goreng.
Memang sebagian besar tanaman sawit kita dimiliki oleh pekebun swasta besar, namun bukankan mereka memakai tanah Negara yang seharusnya menurut konstitusi kita diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat ? Padahal minyak goreng adalah kebutuhan pokok rakyat, mengapa Negara seolah tak berdaya mengaturnya ?
Ketika Menteri Perdagangan mematok HET minyak goreng Rp 14.000,- per liter tiba tiba minyak goreng hilang dari peredaran. Dan ketika harga minyak goreng kemasan kembali dibebaskan, tiba tiba minyak goreng melimpah namun dengan harga yang tinggi dan hampir sama untuk semua merek. Ini adalah bukti nyata persekongkolan pengusaha minyak gorengyang terang benderang. Dan Negara seolah tak berkutik. Kejadian ini seharusnya menjadi momen untuk melakukan perubahan fundamental atas pembangunan ekonomi Nasional, yaitu kembali pada konstitusi kita dimana Koperasi seharusnya menjadi sokoguru perekonomian kita.
Saya membayangkan bagaimana kalau sebagian besar tanaman sawit dikuasai petani mandiri lalu membentuk Koperasi yang sanggup membangun pabrik CPO dan minyak goreng sendiri. Anggota koperasi diperluas dengan konsumen minyak goreng rakyat kecil. Bila hal ini terwujud rasanya gonjang ganjing minyak goreng tidak akan terjadi. Harga TBS ditentukan secara demokratis dengan target peningkatan kesejahteraan petani sawit. Harga minyak goreng juga ditentukan secara demokratis dengan mempertimbangkan kemampuan anggota yang menjadi konsumen. Pabrik bekerja bukan menumpuk keuntungan bagi segelintir orang pemilik modal, akan tetapi untuk mensejahteraan anggota yang banyak. Bila produksi melimpah bisa diekspor agar diperoleh keuntungan tambahan untuk kesejahteraan seluruh anggota.
Apakah gagasan itu mungkin ? Sangat mungkin bila ada political will yang kuat dari Pemerintah. Apalagi teknologi CPO dan minyak goreng tergolong teknologi yang relatif simpel dan tidak padat modal. Mungkin masih ada yang meragukan apakah koperasi bisa menjalankan sebuah korporasi besar. Tentu bisa dan sangat bisa. Koperasi Indonesia dikerdilkan oleh terminologi dan mindset yang salah karena disatukan dengan usaha kecil menengah. Padahal Koperasi sesungguhnya adalah gagasan besar yang dicita citakan Bung Hatta, founding father kita.
C- Mac, perusahaan korporasi asal Australia yang memproduksi peralatan berbasis metal seperti tangki, kapal, alat berat dll yang tentu saja padat modal dan padat technologi itu pada tahun 2017 berubah bentuk dari perusahaan milik keluarga menjadi berbentuk Koperasi Pekerja dalam rangka menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Diperlukan waktu satu tahun untuk merubah corporate culture dari shareholder oriented ke stakeholder oriented. Bukan pekerjaan gampang memang, akan terbukti bisa dilaksanakan dan sukses. Ini juga membuktikan bahwa penerapan demokrasi ekonomi di sebuah Negara kapitalis sekalipun bukan hanya mungkin, akan tetapi bahkan bisa menjadi solusi. Meskipun pada tahun 2020 C-Mac kembali berubah menjadi perusahaan keluarga akan tetapi kejadian metamorphose menjadi perusahaan berbasis koperasi pekerja cukup membuktikan bahwa koperasi adalah sistem yang dapat berjalan dengan baik dimanapun dan dalam bisnis apapun.
Tidak usah jauh jauh, di Indonesia sebuah BUMN yaitu Perum Pengeringan Tembakau di Bojonegoro yang nyaris ditutup karena tidak efisien dan terus merugi akhirnya pada 80 an diambil alih oleh karyawannya yang menyatu dengan petani tembakau dan menjalankan mesin pengering tersebut dengan sistem koperasi. Usaha tersebut terus berlanjut hingga kini dengan nama Koperasi Kareb yang sukses dan ikut mensejahteraan masyarakat Bojonegoro.
Kembali ke masalah minyak goreng, saat ini adalah momen yang tepat untuk merubah mindset dan mendudukkan koperasi menjadi gagasan besar dan fundamental sekaligus menegakkan konstitusi kita secara nyata. Tanah Indonesia yang luas harus dikembalikan peruntukannya bagi rakyat banyak dengan membudidayakannya sebagai petani mandiri. Alat produksi seperti pabrik CPO, pabrik gula dll sebanyak mungkin dimiliki oleh stakeholder seperti petani dan pekerja serta (bila perlu) konsumen dan dikelola untuk kesejahteraan yang adil dengan prinsip demokrasi ekonomi yaitu dengan menggunakan organ Koperasi. Benturan kepentingan antara petani, pekerja dan konsumen dapat diselesaikan secara demokratis melalui mekanisme rapat anggota yang transparan. Semua memiliki suara yang sama dengan prinsip one man one vote. Bertolak belakang dengan korporasi yang berorientasi pada profit untuk shareholder.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 131)