Jadi, saya ingat juga Dale Carnegie. Mereka tidak boleh hilang muka. Kepada Kerani I, saya suruh dia memanggil kedua pegawai gudang. Kedua orang ini bergantian bertugas siang dan malam. Saya tanya apakah mereka kenal barang yang kita bicarakan. Mereka mengaku tahu dan ingat bahwa pernah ada di gudang. Lalu saya berkata, “Pak Rauf datang untuk urusan as transmisi, bukan urusan mesin diesel. Rasanya tak mungkin dia ambil suku cadang Bellis itu. Dipabrik lain tidak ada Bellis. Besok pagi bisa juga kita telpon ke Medan”, kata saya.
Mereka diam saja tidak memperlihatkan reaksi apa-apa.
“Gudang kita ini besar sekali. Di bagian belakang juga saya lihat banyak barang-barang”, kata saya melanjutkan.
“Mungkin tempatnya berpindah atau tertutup barang lain. Jadi begini saja”, dengan wajah bersunguh-sunguh.
Melihat wajah mereka yang kikuk, saya pun semakin menyudutkan mereka tanpa mereka sadari. “Sekarang jam setengah sembilan. Coba pangil pegawai gudang yang lain dari rumah dan ramai-ramai cari barang itu. Saya akan pulang makan dulu. Satu jam lagi akan kembali. Nanti beri tahu saya, ketemu atau tidak”.
Mereka pergi dan saya melangkah ke rumah yang berada disamping pabrik. Saya harap mereka tahu kalau saya serius. Saya masih benar-benar berharap ketika tiba di rumah dan melihat istri saya sudah menanti untuk makan malam. Dia tentu sepi dirumah karena belum punya anak untuk diurus. Rumah Tekniker I ini berukuran besar. Kamar mandinya saja lebih besar dari kamar tidur kami di rumah orangtua saya di Medan. Di depan rumah, hanya beberapa meter dari beranda yang besar, mengalir Sungai Asahan. Tidak ada motor boat atau sampan yang melintas membuat keadaan pada malam hari benar-benar sunyi. Pembantu yang suami istri menunggui di bagian belakang rumah. Mereka duduk didepan kamar tidurnya yang terpisah dari bangunan induk, tetapi dihubungkan door-lop.
Sumber : Derom Bangun