JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah memberikan sejumlah alasan penolakan kebijakan diskriminasi sawit di Eropa.
Delegated Regulation Uni Eropa Merupakan Bentuk Diskriminasi dan Kebijakan Proteksionis Terselubung terhadap Kelapa Sawit sebagaimana dipaparkan dalam 10 point berikut:
- Pemerintah Indonesia menentang keras keputusan
Komisi Eropa untuk mengadopsi Draft Delegated Regulation yang
mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai minyak nabati beresiko
tinggi terhadap terjadinya ILUC yang tidak berkelanjutan berdasarkan
standar sepihak dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Komisi Eropa, melalui regulasi tersebut, menegaskan bahwa tujuan dari
Draft Delegated Regulation adalah bukan untuk mempromosikan sektor minyak
nabati yang berkelanjutan, namun untuk menghapus secara bertahap dan
melarang impor minyak kelapa sawit dengan tujuan melindungi dan
mempromosikan minyak nabati yang diproduksi oleh UE.
- Pemerintah Indonesia juga menyayangkan
komentar-komentar dari institusi UE dan pihak terkait lainnya yang
menganggap bahwa kebijakan tersebut terlalu lunak dan menghendaki
pelarangan total kelapa sawit. Bagi mereka yang mempercayai keberlanjutan
dan perlindungan lingkungan, kiranya penting untuk mengesampingkan ILUC
yang bersifat politis dan bekerja sama dengan negara-negara produsen
kelapa sawit untuk pencapaian UN Sustainable Development Goals (SDGs)
2030. Pemerintah Indonesia membuka lebar peluang kerja sama dengan seluruh
pihak yang secara tulus memiliki perhatian terhadap isu lingkungan yang
berkelanjutan.
- Penyebutan kelapa sawit secara khusus di dalam
Delegated Resolution pada dasarnya menafikan usaha pembangunan
berkelanjutan di sektor minyak nabati. Sebagaimana diketahui, tingkat
produktivitas minyak kelapa sawit yang mencapai 3.8 MT/ha/tahun
dibandingkan dengan minyak rapeseed yang produksinya hanya mencapai 0.6
MT/ha/tahun atau minyak kedelai yang produksinya tidak lebih dari 0.5
MT/ha/tahun merupakan jawaban untuk melindungi tingkat penggunaan lahan
untuk memproduksi minyak nabati seiring meningkatnya permintaan. Dalam
kaitan tersebut, pendekatan UE dalam mengatasi permasalahan minyak nabati
yang berkelanjutan ini tidaklah cermat, disesalkan, dan tidak dapat
diterima.
- Di satu sisi, perbandingan tingkat produktivitas
tersebut juga tidak membuat Pemerintah Indonesia bersedia untuk
mengorbankan keberagaman hayati yang ada. Sebaliknya, Pemerintah Indonesia
telah melakukan moratorium pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan
untuk perkebunan kelapa sawit dan melakukan berbagai inisiatif untuk
meningkatkan tingkat produktivitas kelapa sawit, termasuk penanaman ulang
pohon kelapa sawit yang sudah tua di lahan yang dimiliki oleh petani
kecil.
- Perhatian terhadap tingkat produktivitas kelapa
sawit juga disuarakan oleh pemangku kepentingan lainnya dalam merespon
Draft Delegated Regulation, sebagai contoh:
“Kurangnya penilaian dampak (lingkungan), termasuk dalam analisis penggunaan lahan dan emisi gas rumah kaca, dalam memberikan izin bagi minyak nabati selain kelapa sawit, dimana pada saat yang bersamaan dilakukan penghapusan kelapa sawit yang 4-10 kali lebih produktif secara bertahap, sangat tidak bisa diterima.”
- Penting kiranya untuk kembali mengingat
kontribusi signifikan kelapa sawit terhadap aspek sosial dan ekonomi di
Indonesia, khususnya dalam hal pengentasan kemiskinan dengan membuka 17
juta lapangan pekerjaan, yang diantaranya termasuk juga empat juta petani
kecil. Walaupun Komisi Eropa dan negara anggotanya berkomitmen dalam
pencapaian SDGs, namun perkembangan sosial dan ekonomi yang ditimbulkan
oleh kelapa sawit nampaknya tidak dianggap penting atau memiliki nilai
oleh UE.
- Walaupun Pemerintah Indonesia akan selalu
mendorong dan meningkatkan dialog melalui SDGs serta menerima masukan dari
seluruh pihak yang tulus memiliki perhatian terhadap isu lingkungan hidup,
Indonesia akan tetap membawa kebijakan diskriminatif UE ke dalam mekanisme
penyelesaian sengketa WTO. Selain itu, penggunaan standar ganda terhadap
minyak kelapa sawit oleh UE yang tidak konsisten dengan usaha UE dalam
mengedepankan sistem perdagangan multilateral pada akhirnya membuat
Indonesia tidak memiliki pilihan kecuali melakukan tindakan balasan,
termasuk tindakan litigasi.
- Presiden Indonesia telah menyampaikan
kekhawatirannya terkait pengaruh diskriminasi kelapa sawit terhadap
hubungan perdagangan dan investasi yang lebih luas antara Indonesia dan
UE. Sebagai informasi, saat ini Kemitraan Strategis ASEAN–UE sedang dalam
status on hold dan Indonesia juga melakukan peninjauan kembali hubungan
bilateral dengan negara anggota UE yang paling mendukung tindakan
diskriminasi yang diajukan oleh Komisi Eropa.
- Indonesia akan terus berkolaborasi dengan
negara-negara produsen kelapa sawit di bawah kerangka CPOPC serta ASEAN,
tidak hanya dalam mempromosikan keberlanjutan, namun juga untuk mendorong
usaha bersama dalam melawan tindakan diskrimasi UE.
- Working Group on Vegetable Oil akan dibentuk dalam Kemitraan Strategis ASEAN–UE dan Indonesia akan mendesak agar pembahasan dapat berfokus pada pencapaian SDGs, terutama pengentasan kemiskinan yang merupakan target utama Agenda 2030. Pembahasan juga akan menginkorporasi isu-isu lingkungan tanpa mengikutsertakan ILUC yang tidak relevan dengan tujuan global yang sesungguhnya.
KEPALA BIDANG HUBUNGAN MASYARAKAT
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA HERMIN ESTI SETYOWATI