Kementerian Luar Negeri mengeluarkan tanggapan resmi terhadap resolusi sawit yang diputuskan Parlemen Uni Eropa. Skema sertifikasi tunggal yang diusulkan Parlemen Uni Eropa dinilai kontraproduktif.
Sebagaimana dilansir dalam laman kemlu.go.id, Kementerian Luar Negeri yang dipimpin Retno Marsudi menyebutkan delapan poin; pertama, Resolusi Parlemen Eropa tentang Palm Oil and Deforestation of Rainforests yang disahkan melalui pemungutan suara pada sesi pleno di Strasbourg pada tanggal 4 April 2017 mencerminkan tindakan diskriminatif terhadap minyak kelapa sawit. Tindakan diskriminatif ini berlawanan dengan posisi Uni Eropa sebagai champion of open, rules based free, and fair trade.
Kedua, Resolusi Parlemen Eropa juga menggunakan data dan informasi yang tidak akurat dan akuntabel terkait perkembangan minyak kelapa sawit dan manajemen kehutanan di negara–negara produsen minyak sawit termasuk Indonesia. Resolusi juga melalaikan pendekatan multistakeholders.
Ketiga, minyak sawit bukanlah penyebab utama deforestasi. Berdasarkan kajian Komisi Eropa tahun 2013, dari total 239 juta ha lahan yang mengalami deforestasi secara global dalam kurun waktu 20 tahun, 58 juta ha terdeforestasi akibat sektor peternakan (livestock grazing), 13 juta ha dari kedelai, 8 juta ha dari jagung, dan 6 juta ha dari minyak sawit. Dengan kata lain, total minyak sawit dunia hanya berkontribusi kurang lebih sebesar 2,5% terhadap deforestasi global.