Tiur Rumondang berkeinginan mendorong pemangku kepentingan dalam praktek budidaya sawit yang berkelanjutan. Ini sangatlah penting sebagai sinergi antara profit, people and planet. Dia pun ingin meningkatkan aktivitas edukasi kepada konsumen – pengguna produk kelapa sawit di Indonesia – untuk terlibat aktif memakai produk sawit yang sustainable.
Menjelang batas akhir pendaftaran, Tiur Rumondang baru menyerahkan aplikasi kepada sekretariat RSPO Indonesia. Lulusan S-2 Universitas Atmajaya ini sebelumnya tidak pernah terpikir bisa terpilih sebagai Direktur RSPO Indonesia.
“Proses seleksinya sangat ketat. Ada beberapa tahapan, ada tes di mana saya menjawab sekitar 200 pertanyaan harus selesai dalam waktu 60 menit via online seperti psikotest. Lalu, interview dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore lewat skype. Prosesnya lumayan panjang. Saya juga terkejut bisa lulus tes. It’s made by God,” cerita Tiur.
Sebelum bergabung dengan RSPO, Tiur sudah berkecimpung di isu lingkungan. Dia aktif sebagai Executive Director Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) KADIN Indonesia. Walaupun kuliah di jurusan keuangan, dirinya lebih tertarik dengan masalah lingkungan. Dalam pandangannya, secara konsep ilmu keuangan dengan sustainability (lingkungan) tidak jauh berbeda.
“Konsepnya dengan alokasi tempat maka hasil bisa maksimal. Masalah lingkungan ini menjadi dasar dari human nature,” ungkapnya.
Proses perkenalan dengan sustainability sawit dimulai semenjak 2014 awal. “Ketika itua, dia mendalami proses membuat pledge (ikrar) sawit. Kemudian, baru saya belajar HCV dan HCS. Pada saat dikaitkan dengan regulasi pemerintah ternyata ada tantangan besar,” jelas Tiur.
Menurutnya, konsep sustainability di industri sawit tidaklah sulit diter karena semenjak dulu telah menjadi bagian mendasar bagi hidup manusia. Ihwal sustainability baru kembali jadi tren belakangan sebab selama ini menurut Tiur manusia dalam hidupnya kerap memikirkan diri sendiri. Padahal manusia harus mengaitkan eksistensinya dengan berbagai hal di sekitar seperti orang lain, lingkungan, dan daya tahan lain.
Urusan sustainability dalam industri sawit tidak bisa parsial. Sustainability, menurutnya, harus bersinergi dengan bisnis itu sendiri. Konsep sinergi profit, planet, and people jadi kunci. “Saya sebenarnya tidak tertarik kalau hanya bicara lingkungan dan sosial, tapi harus mampu bersinergi,” ungkap penggemar film Pretty Woman ini.
Mengedukasi konsumen supaya memahami sustainability sawit akan menjadi perhatiannya. Menurutnya, edukasi konsumen Indonesi menjadi tantangan terbesar bagi RSPO untuk memperkenalkan urusan sustainability. Riset yang dilakukan RSPO tahun lalu juga menunjukan bahwa konsumen Indonesia masih memiliki preferensi untuk membeli barang yang mudah dan murah.
“Tapi saya yakin ada level masyarakat yang akhirnya bisa berubah. Dan ini juga yang terjadi di negara maju, mereka butuh 20 tahun untuk mengedukasi konsumennya. Supaya mereka paham bahwa apa yang dikonsumsi bisa mempengaruhi keberlanjutan hidup. Ini menjadi tantangan bagi RSPO untuk membuatnya lebih baik,” lanjutnya.
Tiur mengakui saat ini ia bersama tim komunikasi di RSPO Indonesia sedang mempersiapkan strategi promosi yang ditujukan mengedukasi konsumen Indonesia untuk lebih dapat memahami konsep sustainability. Ia bersama tim sedang berupaya mencari pesan dan kata kunci yang tepat agar strategi komunikasi bisa berjalan dengan baik.
“Promosi sebenarnya tidak pernah cukup, dan itu menjadi salah satu inti kegiatan saya beberapa bulan ke depan dengan tim komunikasi RSPO untuk identifikasi pesan kunci, dan key stakeholder. Di tahun sebelumnya, RSPO lebih fokus kepada grower untuk mengubah perilaku bisnis perkebunan. Tahapan selanjutnya, kami menyasar konsumen lantaran grower sudah bergerak sendiri,” jelas Tiur.
Dia ingin menciptakan kesadaran konsumen meningkat atas apa yang dikonsumsi. Sehingga perilaku konsumsi tidak sebatas sarana pemenuhan kebutuhan melainkan bisa memberikan dukungan kepada kehidupan yang baik.
(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Januari 2016-15 Februari 2016)