• Beranda
  • Rubrik
    • Analisis
    • Artikel
    • Berita Terbaru
    • Edisi Terbaru
    • Event
    • Hama Penyakit
    • Hot Issue
    • Inovasi
    • Kinerja
    • Oase
    • Palm Oil Good
    • Pojok Koperasi
    • Profil Produk
    • Sajian Utama
    • Seremoni
    • Sosok
    • Tata Kelola
  • Tentang Kami
  • Susunan Redaksi
  • Hubungi Kami
Facebook Twitter Instagram
Selasa, 31 Januari 2023
Trending
  • Pesan Bang GM : Next Pemimpin GAPKI, Saling Menjaga Harus Dilanjutkan
  • Inovasi Mahasiswa UMM Manfaatkan AI Bagi Viabilitas Polen Sawit.
  • Sosialisasi Program Grant Riset Sawit Dihadiri oleh Pihak Unsyiah
  • BPDPKS Sosialisasi Program Riset Sawit ke Universitas Syiah Kuala.
  • Kanwil Kemenkumham Kalbar Gelar Rapat Pengharmonisasian Raperda Kabupaten Sintang
  • Komoditas Strategis dan Unggulan Indonesia yang Rantai Pasoknya Terdampak oleh Kebijakan EU
  • GAPKI Riau Gelar Diskusi Persoalan Tata Ruang dan Kehutanan
  • KUR Meningkatkan Perekonomian
Facebook Instagram Twitter YouTube
Majalah Sawit Indonesia OnlineMajalah Sawit Indonesia Online
Subscribe
  • Beranda
  • Rubrik
    • Analisis
    • Artikel
    • Berita Terbaru
    • Edisi Terbaru
    • Event
    • Hama Penyakit
    • Hot Issue
    • Inovasi
    • Kinerja
    • Oase
    • Palm Oil Good
    • Pojok Koperasi
    • Profil Produk
    • Sajian Utama
    • Seremoni
    • Sosok
    • Tata Kelola
  • Tentang Kami
  • Susunan Redaksi
  • Hubungi Kami
Majalah Sawit Indonesia OnlineMajalah Sawit Indonesia Online
Home » Tidak Ada Kawasan Hutan Tanpa Melalui Proses dan Tahapan Pengukuhan
Berita Terbaru

Tidak Ada Kawasan Hutan Tanpa Melalui Proses dan Tahapan Pengukuhan

By Redaksi SI3 minggu ago6 Mins Read
WhatsApp Facebook Twitter Telegram LinkedIn Pinterest Email
Hutan
Hutan
Share
WhatsApp Facebook Twitter Telegram LinkedIn Pinterest Email

JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Dr Sadino, SH, MH menyatakan secara tegas pengukuhan kawasan hutan dengan tahapannya merupakan bentuk pelaksanaan administrasi pemerintahan.

“Namun, jika tidak dijalankan dan telah ada ketentuan hukum lain, maka status ‘menunjuk’ kawasan hutan posisinya sangat lemah. Sehingga pada akhirnya akan menyimpan konflik lahan sebagaimana sering terjadi pada saat ini,” tegas Sadino, melalui keterangan resmi tertulis yang diterima redaksi sawitindonesia.com, pada Jum’at (13 Januari 2023).

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam melakukan pengukuhan kawasan hutan setidaknya ada empat proses yang harus dilalui. Diantaranya, penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Tanpa melalui proses tersebut tak ada kawasan hutan.

Dijelaskan Sadino pelepasan kawasan hutan tentunya atas lahan kawasan hutan yang sudah dikukuhkan, bukan kawasan hutan yang baru dalam proses penunjukan. “Seringkali salah difahami seolah Hak Atas Tanah seperti Hak Guna Usaha (HGU) mesti ada pelepasan kawasan hutan. Padahal kalau RTRW Provinsi atau RTRW Kabupaten/Kota bukan kawasan hutan ya tidak diperlukan pelepasan kawasan hutan,” jelasnya.

Misalnya Hak Atas Tanah seperti HGU di Riau dan Kalimantan Tengah. Bagaimana produk Hak Atas Tanah pemerintah kok tidak diakui padahal produk tersebut diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku berarti sah menurut hukum. Juga tidak ada pencabutan izin dan dibatalkan oleh pengadilan.

Penentuan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan juga harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah sesuai Pasal 15 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Lebih lanjut, Sadino menguraikan pemerintah sejatinya menyadari adanya dispute peraturan perundang-undangan antara Tata Ruang Wilayah dengan Kehutanan. Dan dicoba untuk diselesaikan melalui PP 10 Tahun 2010 ternyata tetap tidak bisa.Maka dikeluarkan PP 60 Tahun 2012 dan PP 104 Tahun 2015 yang memberikan kesempatan kepada pelaku usaha perkebunan melakukan permohonan pelepasan kawasan hutan secara parsial dan tukar menukar kawasan hutan.

Baca juga :   Stok Minyakita Menipis, Zulhas Jadikan Rasio DMO 1:6

“Tata cara permohonan pelepasan kawasan hutan diatur dengan Peraturan Menteri. Meskipun telah dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan penyelesaian permasalahan lahan terkait dengan kawasan hutan, tidak mudah diselesaikan,” lanjutnya.

Hal ini karena menerapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku surut sedangkan setiap perizinan mempunyai waktu dan ketentuan hukum yang berbeda baik locus maupun temposnya. Misalnya, di Provinsi Riau maupun Provinsi Kepulauan Riau keberlakukan Perda RTRWP dan RTRWK/K sudah berjalan terlalu lama dan mengikuti penyesuaian dengan peraturan yang baru tentunya tidak mudah.

“Jika melihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 amar putusan [3.12.2] menyatakan, bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya.Akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers),” ungkap Sadino.

Ditambahkan Sadino, penunjukan belaka untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan merupakan pelaksanaan pemerintahan yang otoriter.Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary powers).

“Tidak seharusnya pengukuhan suatu kawasan hutan yang menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan Frasa ‘ditunjuk dan atau’ tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tegas Sadino.

Selama ini dengan ‘menunjuk’ seolah telah selesai aktivitas penentuan suatu lahan yang akan menjadi Kawasan hutan. Pemerintah lupa bahwa ‘menunjuk’ tanpa dilanjutkan sampai penetapan melalui pengukuhan kawasan hutan adalah bersifat ‘inferatif’ yang harus dijalankan pemerintah.

Baca juga :   Sinergi dan Kolaborasi Guna Cegah Karhutla

“Sementara, Mahkamah Konstitusi menyatakan kalau hanya ‘menunjuk’ terus disebut sebagai kawasan hutan adalah tindakan yang ‘otoriter’. Padahal, tanpa ada proses yang lengkap penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan, maka pengukuhan kawasan hutan belum selesai. Karena pengukuhan kawasan hutan adalah untuk memberikan kepastian hukum tentang kawasan hutan itu sendiri,” pungkas Sadino.

Terkait dengan penunjukkan kawasan hutan, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr Budi Mulyanto mengingatkan dasar dari penetapan kawasan hutan adalah pengukuhan, dan bukan penunjukan seperti selama ini diterapkan. “Konsep penunjukan yang selama ini diberlakukan, punya persoalan, yakni terlihat legal tapi tidak legitimate atau pengakuan sangat rendah dari masyarakat,” jelasnya.

Menurut Prof Budi, tata batas adalah proses hukum dan bukan proses teknis oleh karena itu batas harus ditentukan dan disepakati oleh pihak-pihak yang berbatasan dengan menerapkan azas contradictiore delimitatie.

“Persoalan tata batas selalu tidak tuntas, karena dalam praktiknya terdapat dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia,” tegasnya.

Di dalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah ada melalui izin dari KLHK. Sedangkan di luar kawasan hutan atau yang disebut dengan Area Peruntukan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Fakta ini berimplikasi pada munculnya berbagai aturan dan regulasi bidang pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan, termasuk masalah kepastian hukum pengakuan penguasaan tanah oleh masyarakat, khususnya masyarakat adat yang telah lama bermukim di wilayah tersebut,” jelas Prof Budi.

Dari fakta yang ada sejak zaman Belanda sudah ada pengakuan atas hak-hak pribumi, namanya Indonesisch bezitsrecht, artinya bahwa hak atas tanah masyarakat pada zaman penjajahan diakui sebagai bagian dari hak azasi manusia.

Baca juga :   Kebijakan yang Berpihak kepada Petani, Meningkatkan Ekonomi

Untuk itu, Prof Budi menyarankan ke depan perlu ada satu lembaga yang diberi otoritas untuk mengatur pemanfaatan tanah, bentuknya bisa lembaga, kementerian atau Kemenko dengan otoritas penuh dari Presiden. Idealnya penyelesaian tata ruang dan batas kawasan hutan dilakukan dengan terlebih dulu mengeluarkan semua tanah yang telah memiliki legalitas.

“Hal ini karena hak atas tanah pada prinsipnya adalah bersifat final, dan dalam prosesnya telah mengikuti ketentuan perundangan yang sudah ada dan pastinya melibatkan instansi pemerintahan terkait,” sarannya.

“Kebijakan ini, perlu disepakati sebagai bentuk saling menghormati antara institusi pemerintahan dan masyarakat. Selama ini, ego sektoral antara institusi pemerintahan mendominasi dan kerap menempatkan masyarakat termasuk pelaku usaha sebagai obyek kesalahan. Ke depan hal seperti ini harus dihindari,” imbuh Prof Budi.

Selanjutnya, Prof Budi kembali mengingatkan soal HGU adalah Hak Atas Tanah (HAT) dan bukan izin, yang didasarkan pada Undang-Undang No. 5/1960 beserta peraturan-peraturan turunannya. Lantaran merupakan HAT atau Right, HGU mempunyai kewenangan konstitusional yang diikuti untuk harus melaksanakan berbagai peraturan-perundangan yang berlaku dan tanggung jawab.

“Untuk mendapatkan HGU, perusahaan perkebunan harus melalui proses perizinan panjang, salah satunya pelaksanaan izin lokasi yakni pembebasan lahan/tanah. Jika sudah mendapat HGU, apalagi kalau lahan tersebut sudah menjadi kebun yang bagus dan ditanami, sebaiknya tidak boleh diganggu gugat. Terus apa artinya kemudahan usaha dan membuka lapangan kerja seperti tujuan UU Cipta Kerja atau Perpu No. 2 tahun

Related posts:

  1. Ekspor Sawit Menguat Ditopang Pembeli Tradisional
  2. ICYMI: The Truth about Greenpeace’s Anti-Certification Agenda
  3. Pemerintah Dorong Operasi Pasar sebagai Langkah Nyata dalam Menyikapi Kenaikan Harga Beberapa Komoditas Bahan Pangan
  4. Menkeu Ingatkan Situasi Global Masih Penuh Resiko
Share. WhatsApp Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Email Telegram

Related Posts

Pesan Bang GM : Next Pemimpin GAPKI, Saling Menjaga Harus Dilanjutkan

10 jam ago Berita Terbaru

Inovasi Mahasiswa UMM Manfaatkan AI Bagi Viabilitas Polen Sawit.

12 jam ago Berita Terbaru

Sosialisasi Program Grant Riset Sawit Dihadiri oleh Pihak Unsyiah

12 jam ago Berita Terbaru

BPDPKS Sosialisasi Program Riset Sawit ke Universitas Syiah Kuala.

13 jam ago Berita Terbaru

Kanwil Kemenkumham Kalbar Gelar Rapat Pengharmonisasian Raperda Kabupaten Sintang

13 jam ago Berita Terbaru

Komoditas Strategis dan Unggulan Indonesia yang Rantai Pasoknya Terdampak oleh Kebijakan EU

13 jam ago Berita Terbaru

GAPKI Riau Gelar Diskusi Persoalan Tata Ruang dan Kehutanan

13 jam ago Berita Terbaru

KUR Meningkatkan Perekonomian

14 jam ago Berita Terbaru

Mentransformasi Total Pola Kemitraan Untuk Memperkuat PSR

15 jam ago Berita Terbaru
Edisi Terbaru
Edisi Terbaru

Cover Majalah Sawit Indonesia, Edisi 135

Redaksi SI18 jam ago1 Min Read
Event
Event

Talkshow Sawit Indonesia Award 2022

Redaksi2 bulan ago1 Min Read
Latest Post

Pesan Bang GM : Next Pemimpin GAPKI, Saling Menjaga Harus Dilanjutkan

10 jam ago

Inovasi Mahasiswa UMM Manfaatkan AI Bagi Viabilitas Polen Sawit.

12 jam ago

Sosialisasi Program Grant Riset Sawit Dihadiri oleh Pihak Unsyiah

12 jam ago

BPDPKS Sosialisasi Program Riset Sawit ke Universitas Syiah Kuala.

13 jam ago

Kanwil Kemenkumham Kalbar Gelar Rapat Pengharmonisasian Raperda Kabupaten Sintang

13 jam ago
WhatsApp Telegram Facebook Instagram Twitter
© 2023 Development by Majalah Sawit Indonesia Development Tim.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

Go to mobile version