JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Petani sawit dari Sabang sampai Merauke mempertanyakan konsep Jangka Benah yang diinisiasi UGM bersama Yayasan Kehati. Konsep ini dinilai tidak menyelesaikan persoalan mendasar petani yaitu pengakuan hak milik petani melalui legalitas, malah berdampak tragis, apalagi menjelang tahun politik yang sudah didepan mata.
“Kalau SJB versi UGM dan Kehati ini cocok nya di uji coba di Pulau Jawa saja, tidak untuk kebun sawit di Papua, jangan coba-coba,” ujar Albert Yoku petani sawit dari Papua.
Ia menegaskan SJB versi UGM dan Kehati yang demplotnya sekitar 100 ha. Itupun kebun sawit yang berumur 2-3 tahun.Kok sudah berani-beraninya menyuruh kami mengikuti SJB versi mereka.
“SJB yang dirancang kalangan akademisi UGM dan NGO ini modus belaka. Dan ini tidak ada di UU Cipta Kerja, itu payung hukum tertinggi, tidak boleh bertentangan. Tunjukkan di mana SJB mereka yang sudah berhasil. Jangan petani jadi kelinci percobaan,” tegasnya.
Lain halnya, SJB-Prowit Berkelanjutan yang diinisiasi IPB University dan APKASINDO. Menurutnya, tidak perlu gunakan demplot. Kebun sawit yang diklaim dalam kawasan hutan seluas 3,379 juta hektare adalah bukti nyata. Bukannya sebatas data di atas kertas.
“Kami petani sawit tidak pernah mengganggu mata pencaharian NGO KEHATI dengan proyek donatur asingnya dan lain-lain. Silahkan saja mencari makan, tapi jangan ganggu sawit kami, periuk dan kehidupan kami,” tutur Albert yang juga merupakan tokoh masyarakat Papua.
Sofyan Abdullah, petani sawit dari Aceh, menjelaskan bahwa pemerintah sebaiknya fokus kepada pembenahan Inhutani dan Perhutani yang hutannya amburadul. SJB versi UGM dan Kehati ini lebih bagus diterapkan untuk memperbaiki BUMN Kehutanan tadi, atau menuntaskan program HTR, Perhutanan Sosial, Prosperity Approach, Silin dan masih banyak peristilahan lainnya yang gak jelas ujungnya.
“Mereka NGO tidak memahami atau pura-pura tidak memahami, bahwa semua tanaman yang diusahakan saat ini, dahulunya berasal dari tumbuhan liar/tumbuhan hutan. Berikutnya dilakukan domestifikasi dan seleksi sesuai dengan kebutuhan manusia,” tutur Sofyan.
Seharusnya UGM dan NGO tersebut membantu kami Petani memikirkan mencari solusi, bukan menjerumuskan. Kami petani sawit telah memberikan devisa bagi negara tahun ini paling sedikit 400 triliun. Bahkan berpotensi menghemat uang negara 58 triliun rupiah dalam program B30 yang menekan impor solar,” ujar Sofyan.
Dr. Ir. Badaruddin Puang Sabang, Ketua DPW APKASINDO Sulawesi Selatan, memandang konsep yang diajukan oleh UGM Bersama NGO KEHATI, SPOS dan UK-Aid, sudah keterlaluan. Bukan rahasia bahwa proyek tersebut dibiayai oleh donator asing dengan kepentingan yang sudah diatur semenjak awal. Manalah mungkin tanaman hutan di tanam diantara sawit, kedua tanaman tersebut akan sama-sama merana.
“Lihatlah kenyataan di lapangan betapa bermanfaatnya sawit bagi ekonomi masyarakat dan negara”. Penelitian dan kajian yang dilaksanakan oleh Tim Peneliti Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB telah menghasilkan kesimpulan dan saran serta memberikan harapan dan semangat kami petani sawit untuk meningkatkan produktivitas yang kesemua proses ini adalah bagian tidak terlepas dari SJB-Prowit Berkelanjutan,” jelasnya.
Akhmad Indradi, STP, M.Si, Petani Sawit dari Kalimantan Timur memandang sangat tendensiusnya konsep SJB UGM dan kelompok NGO nya menyudutkan sawit, sepertinya sawit ini tanaman haram dan terlarang. Di saat yang bersamaan negara ini sangat tergantung dengan ekonomi sawit.
“Kami sudah catat rekam jejak NGO tersebut. Hanya modusnya selama ini beragam dan suka ganti baju. Memaksa kami petani wajib ikut ISPO adalah ide mereka juga (NGO KEHATI). Padahal mereka tahu tidak mungkin petani wajib ISPO dengan segala permasalahan dan keterbatasannya,” jelasnya.
Sebagai informasi dari Februari 2020 sampai sekarang, baru 3.452 ha kebun petani yang dapat memenuhi syarat ISPO dari 6,7 juta hektare luas kebun sawit petani di Indonesia. Sementara itu, batas waktu pendaftaran sertifikasi ISPO akan berjalan 3 tahun lagi (2025).
“Sebagai petani, sekaligus alumni UGM, kami turut prihatin atas ide SJB karena meminggirkan peranan kebun sawit petani bagi kesejahteraan rakyat dan ekonomi. Jangan sampai UGM dinilai lebih mendukung kampanye hitam oleh yang digaungkan LSM anti sawit. Seolah-olah kebun sawit harus dibuat hutan kembali karena dianggap berbahaya dan merugikan bangsa,” jelas Indra.
Ia menyarankan lebih baik UGM mencari inovasi baru untuk menghijaukan lahan kritis, lahan tidak produktif maupun lahan bekas tambang agar hijau kembali. Selanjutnya mereka dapat memberikan dampak ekonomi besar kepada masyarakat.
Dr. Gulat ME Manurung, Ketua Umum DPP APKASINDO, mengatakan sudah ada kerjasama dengan IPB University untuk menerapkan Strategi Jangka Benah dengan konsep Produktivitas Sawit Berkelanjutan (SJB-Prowit Berkelanjutan), dengan konsep ini, aspek ekonomi, sosial dan lingkungan saling berangkulan untuk kesejahteraan manusia, bukan yang satu menghilangkan yang lainnya.
Penelitian dan kajian yang dilaksanakan oleh Tim Peneliti Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB telah menghasilkan kesimpulan dan saran yang mengawinkan 3 aspek, ekonomi, sosial dan lingkungan.
“Sawit masuk dalam kelompok tanaman hutan bukan berarti sawit akan ditanami di hutan yang masih berhutan. Sebagaimana di “plintir” banyak pihak. Tapi sawit adalah lahan eksisting tertanam yang diklaim masuk kawasan hutan gak perlu di hutankan, karena sifatnya sama (hasil kajian maskah akademik IPB). Ada rekomendasi sawit dapat ditanam di areal kawasan hutan yang terdegradasi, rusak dan terlantar. Hal ini akan menghemat uang negara karena kalau dihutankan kembali membutuhkan triliunan rupiah dan belum tentu berhasil,” urai Gulat.
“Kami memandang Petani sawit lebih tertarik dengan yang pasti-pasti dan telah terbukti sebagaimana kehidupan kami sehari-hari dengan berkebun sawit yang telah teruji dari segi manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial. Ini dijamin oleh UUD 1945 dan Hak Asasi Manusia terkandung didalamnya,” ujar Gulat.