JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Industri sawit yang memberikan kontribusi US$ 19 miliar bagi devisa ekspor menghadapi tantangan dari aspek sumber daya manusia terutama sertifikasi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Achmad Manggabarani, Direktur Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) dalam pembukaan Seminar Pengembangan SDM Kelapa Sawit Indonesia Kompeten di Yogyakarta, Jumat (15/4).
“Banyak planters di Indonesia yang memiliki kompetensi namun masih belum memiliki sertifikat pekebun. Padahal hal tersebut sangat penting khususnya dalam menghadapai MEA,” ungkap Manggabarani.
Menurut Manggabarani masih banyak pekebun maupun perusahaan yang belum memiliki kesadaran untuk memiliki sertifikat pekerja kebun. Padahal dalam menghadapi MEA, sertifikasi profesi pekerja kebun menjadi hal yang penting.
“Negara-negara tetangga di Asia Tenggara sudah mempersiapkan para pekerja kebunnya telah memiliki sertifikat profesi. Jika tidak diantisipasi maka akan banyak pekerja asing yang masuk Indonesia. Jangan sampai indonesia hanya jadi penampung tenaga kerja,” lanjut Mantan Dirjen Perkebunan ini.
Manggabarani memperkirakan setiap tahunnya industri sawit nasional membutuhkan sepuluh ribu mandor dan setingkatnya serta seratus ribu tenaga kebun di perkebunan sawit.
Selain soal kesadaran mendapatkan sertifikat, menurutnya, harus ada skema pembiayaan yang tepat untuk sertifikasi pekerja kebun sawit.
Sebab sertifikasi pekerja kebun sawit membutuhkan proses yang panjang. Misalnya untuk mendapatkan sertifikasi manajer kebun, seorang harus memenuhi 12 Standar Kualifikasi Kompetensi Nasional (SKKNI), 14 SKKNI untuk Asisten Kepala dan Asisten Kebun, serta 13 SKKNI untuk mandor.
“Yang kedua persoalannya adalah soal pembiayaan sertifikasi tersebut, siapa yang akan membiayai? Kalau di negara lain, dana sertifikasi planters itu daribpemerintah,” tambah Manggabarani. (Anggar Septiadi)