JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Upaya menyelesaikan permasalahan kawasan hutan di Riau dan Kalimantan Tengah akan menjadi perhatian pemerintah. Akibat dari persoalan ini, masyarakat menghadapi ketidakpastian hukum dan hilangnya pendapatan negara.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) turut mendukung pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Provinsi Riau.
“Provinsi Kalteng dan Riau memiliki beberapa masalah berkaitan dengan kawasan hutan yang membutuhkan aksi bersama lintas sektor,” ujar Surya Tjandra, Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN dalam rapat bersama yang berlangsung daring, Selasa (9 November 2021).
Rapat ini membahas percepatan pengukuhan kawasan hutan, redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), penyelesaian penguasaan tanah dalam rangka penataan kawasan hutan, dan optimalisasi pajak perkebunan sawit.
Hadir dalam rapat ini dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah. Sebagai informasi, KPK memiliki program Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Provinsi Riau.
Surya Tjandra menyampaikan bahwa Ia menyebutkan, pemerintah daerah hingga pemangku kepentingan terkait, diharapkan bisa dengan cepat menyelesaikan masalah-masalah tersebut karena menyangkut kepentingan masyarakat.
“Jadi, kalau pilot project KPK ini diharapkan bisa lebih cepat lagi menerobos problem-problem, terlebih di hak-hak (Hak Atas Tanah) yang terperangkap kawasan hutan. Khusus untuk Kalteng ini, kronologinya kalau dari sekilas kita lihat memang ada perubahan-perubahan peraturan. Pernah itu kawasan, terus HPL (Hak Pengelolaan), terus kawasan lagi, begitu seterusnya,” ujar Surya.
Berdasarkan laporan kronologi yang diterima dari Kantor Wilayah BPN Provinsi Kalteng, dualisme regulasi dan ketidakpahaman masyarakat melatarbelakangi perubahan APL (Areal Penggunaan Lain) menjadi kawasan hutan. Beberapa peraturan dicabut dan berlaku surut sehingga berimplikasi terhadap banyaknya sertipikat yang sudah diterbitkan, seakan-akan berada di dalam kawasan hutan. Hal ini kemudian menjadi polemik, lantaran legalitas terkait sertifikat tentu dipertanyakan.
Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN mengatakan, hal demikian tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga kerugian karena kehilangan pendapatan negara.
“Kalau mau dibereskan, mungkin kita kukuhkan dulu yang belum tuntas hak atas tanahnya. Lalu kita ajukan tata batas lagi. Namun memang, kita ingin fix dulu strateginya. Jadi, ke depan kita belajar dari hal ini, ada percepatan proses pembebasan hak-hak yang masuk atau terperangkap dalam kawasan hutan ini,” pungkasnya.