JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Rencana pemerintah menggandeng investor asing dalam pengelolaan restorasi gambut dinilai melecehkan kedaulatan bangsa. Selain itu, kebijakan ini dinilai kontradiktif dan bersifat diskriminasi pasalnya sawit terlarang untuk dikelola di areal gambut. Mengapa tanaman pertanian lain seperti sagu, nanas, dan sorgum diperbolehkan bahkan berencana membuka peternakan pula?
Bungaran Saragih, Menteri Pertanian periode 2000-2004, mempertanyakan keinginan pemerintah yang mengundang investasi asing dalam restorasi gambut. Mengingat kebijakan penundaan sementara (moratorium) izin sawit di lahan gambut sedang berlangsung tetapi membuka kesempatan tanaman lain untuk masuk.
“Jelas, rencana tersebut kontradiktif dan inkonsistensi dengan kebijakan yang sedang berjalan sekarang,” kata Bungaran kepada SAWIT INDONESIA.
“Kalau pemodal asing diundang masuk ke sini (red-dalam negeri). Apakah berarti mereka lebih pintar dari kita dalam mengelola gambut. Saya pikir policy pemerintah jangan bertabrakanlah,” tegasnya.
Pernyataan Bungaran ini menanggapi pembuatan roadmap restorasi gambut sesuai arahan Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI. “Jadi Pak JK memberikan arahan terkait menjual program restorasi gambut kepada investor internasional. Kami diminta siapkan hitung-hitungan ini, siapkan bahan untuk presentasi ke New York, ,” kata Nazir Foead menjelaskan pertemuannya dengan Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden pada pekan lalu seperti diberitakan beberapa media nasional.
Dalam kesempatan tersebut, menurut Nazir, akan dilakukan pembicaraan dengan kalangan investor yang tertarik restorasi gambut supaya mereka mau menanamkan modal. Jenis invetasi yang ditawarkan berupa tanaman yang adaptif dengan gambut seperti nanas, sagu, dan sorgum. Selain itu, ada pula tawaran investasi sektor peternakan di areal gambut.
Bungaran mengkritik pemerintah seharusnya membuat kebijakan berdasarkan kajian ilmiah. Bukannya berlandaskan kepada kepentingan jangka pendek dari orang-orang tertentu.
Basuki Sumawinata, Pakar Gambut Institut Pertanian Bogor, menjelaskan bahwa tanaman nanas sebenarnya bisa ditanam di areal gambut semenjak dahulu. Tapi, terbatas kepada skala petani dimana cirinya tidak intensf dan sekedarnya.
“Tetapi tidak bisa untuk industri. Yang menjadi pertanyaan perusahaan great giant pineapple sebagai industri pengalengan nanas tidak pernah tertarik pada menanam nanas di lahan gambut,” jelasnya.
Apabila gambut ditanami tanaman setahun seperti jagung, kedelai ataupun rumput gajah. Maka, kata Basuki Sumawinata, perlu penggunaan pupuk intensif dan memicu emisi gas karbon. “Ini berarti semakin memperbesar emisi,” tuturnya.
Senada dengan Bungaran Saragih. Basuki Sumawinata menyebutkan kebijakan negara perlu dilakukan pengkajian dengan seksama keuntungan dan kerugiannya.
Drajad Wibowo, Pengamat Ekonomi, mengungkapkan apabila asing dibolehkan mengelola gambut seharusnya investor domestik diberikan izin. Begitupula dengan nanas kalau boleh semestinya sawit juga harus boleh. Sekali lagi, kuncinya teknologi lahan yang dipakai. Bukan pada pilihan komoditas atau pilihan investornya dari mana.
“Di sisi lain apabila ada investor domestik yang mau dan bisa mengelola, mengapa harus susah payah undang asing. Jarang sekali investor asing pengalaman dengan pengelolaan gambut di daerah tropis. Akibatnya posisi tawar mereka tinggi. Ini bisa menyulitkan pemerintah,” pungkas Dradjad. (Qayuum)