Kebijakan pungutan ekspor bersifat progresif dapat menekan penjualan produk minyak sawit mentah. Meningkatkan nilai tambah industri sawit.
Kebijakan pungutan ekspor yang dijalankan Indonesia dapat mendongkrak ekspor produk turunan kelapa sawit. Selisih tarif pungutan ekspor antara produk hulu dan hilir berimbas ke pada berkurangnya penjualan CPO atau minyak sawit mentah kesejumlah negara pembeli termasuk Eropa.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Kementerian Perdagangan RI, Eropa mengurangi pembelian CPO dari Indonesia sepanjang Januari sampai Mei 2021. Nilai ekspor CPO Indonesia ke Eropa anjlok 63% menjadi US$189,8 juta dibandingkan periode sama tahun 2020 sebesar US$517,4 juta.
“Kebijakan pungutan ekspor mampu mendongkrak ekspor turunan kelapa sawit. Eropa salah satu konsumen yang menikmatinya (kebijakan pungutan),” ujar Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), dalam sambungan telepon.
Kebijakan pungutan ekspor yang dimaksud Sahat Sinaga adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/2020 yang resmi berlaku pada 10 Desember 2020. Efektivitas kebijakan ini mulai terlihat dari penurunan ekspor CPO seperti ke Uni Eropa. Dikatakan Sahat, selisih tarif pungutan ekspor dalam PMK 191 membuat produk hilir lebih berdaya saing di pasar global.
“Kebijakan pungutan ekspor ini sangat efektif untuk meningkatkan nilai tambah sawit dibandingkan menjual produk mentah. Lebih baik kita ekspor bentuk hilir,” urai lulusan Teknik Kimia ITB ini.
Dapat dikatakan, PMK 191/2020 terlihat efektif dari awal Januari sampai Juni 2021. Produk hilir lebih mendominasi 80% dalam perdagangan ekspor sawit Indonesia. Tetapi setelah PMK 191/2020 direvisi menjadi PMK 76/2021 pada akhir Juni kemarin. Diharapkan, ekspor tetap berdaya saing karena tarif ekspor produk mentah atau CPO tetap masih tinggi dari pada hilir.
Dijelaskan Sahat, industri di Eropa berupaya menekan harga sawit semurah mungkin melalui beragam kampanye negatif. Langkah ini diambil karena harga sawit lebih kompetitif dari pada minyak nabati lain.
“Makanya, kalau kampanye hitam terus berlangsung. Indonesia tidak perlu takut. Saya setuju setop ekspor sawit ke Eropa. Kalau Eropa masih bertindak macam-macam,” tegas Sahat.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Fadhil Hasan mengatakan, ketika ekonomi Indonesia tertekan akibat pandemi, industri sawit menjadi penopang ekonomi melalui kontribusi ekspor. “Di sektor hilir, sawit juga menggerakkan industri makanan, oleochemical, hingga biofuel untuk sektor transportasi,” katanya.
Kontribusi maupun potensi besar pengembangan industri sawit di Indonesia juga diikuti dengan tantangan besar. Fadhil menyebut, isu keberlanjutan atau sustainability menjadi tantangan utama industri sawit saat ini. “Dalam dekade terakhir, industri sawit di Indonesia telah mengalami transformasi signifikan. Dengan komitmen keberlanjutan, industri sawit akan terus berkembang,” sebutnya.
Bernard A. Riedo, RGE Indonesia Palm Business and Sustainability Director mengatakan, komitmen keberlanjutan dalam operasional industri sawit merupakan sebuah keharusan. “Karena itu, aspek keberlanjutan menjadi inti transformasi positif dalam rantai pasok industri sawit RGE Indonesia,” katanya.
Melalui Asian Agri di sektor hulu dan Apical di sektor hilir, RGE Indonesia merupakan salah satu grup produsen dan eksportir terbesar kelapa sawit di Indonesia. Pasar ekspornya menjangkau lebih dari 30 negara di lima benua. Komitmen dan praktik keberlanjutan membuat RGE Group dipercaya menjadi pemasok bahan baku oleh raksasa global seperti Unilever, Nestle, P&G, Kao, dan puluhan lainnya.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 118)