JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Konsumsi minyak sawit untuk biodiesel yang terus meningkat menjadi pertanda Indonesia berhasil memasuki transisi energi baru terbarukan. Di sisi lain, ada kekhawatiran produktivitas sawit yang stagnan dan cenderung menurun akan, menimbulkan ancaman penggunaan sawit di sektor pangan.
Kekhawatiran ini diungkapkan Ketua Umum APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), Dr. Gulat ME Manurung, MP, C.IMA, setelah mengetahui kuota FAME (Fatty Acid Methyl Ester) untuk program mandatori B35 pada tahun ini tidak akan jauh beda dengan tahun lalu yaitu sekitar 13,15 juta KL FAME atau setara dengan bahan bakunya 12,67 juta ton CPO (26% dari produksi CPO Indonesia 2023, 48 juta ton).
“Saya baca berita di website sawit Indonesia terkait kontrak PT Jhonlin Agro Raya sebesar 1,6 triliun rupiah untuk memasok FAME ke Pertamina. Artinya industri produsen FAME semakin menjanjikan kedepannya seiring dengan semakin menurunnya produksi pertambangan minyak bumi yang bersifat tidak bisa kembali. Sementara minyak nabati sawit bisa diperbaharui (energi hijau),” urai Gulat.
Menurutnya, kenaikan serapan minyak nabati sawit untuk kebutuhan energi justru menjadi ancaman yang bukan hanya untuk dunia, tapi Indonesia sendiri. Sesungguhnya inilah salah satu yang diributkan Uni Eropa yaitu pemanfaatan minyak sawit oleh Indonesia untuk sumber energi di saat yang bersamaan kebutuhan umat manusia di dunia ini terhadap minyak nabati masih sangat tinggi dan cenderung meningkat untuk kebutuhan pangan.
“Melihat produksi CPO Indonesia tahun 2023 yang hanya 48 juta ton justru memprihatinkan karena produktivitas kebun sawit Indonesia tidak terjadi peningkatan yang berarti, justru turun (data GAPKI),” kata Doktor lulusan Universitas Riau ini.
Dikatakan Gulat, penurunan produksi CPO ini justru berbanding terbalik dengan program pemerintah terkait biodiesel yang cenderung meningkat, demikian juga sudah mendesaknya pemanfaatan Bensin Sawit (Bensa) dan terakhir teknologi Avtur yang sudah pada uji coba tahap akhir. Artinya tanpa kita sadari, Indonesia justru merupakan ‘pengkonsumsi CPO’ terbesar di dunia, yaitu sebesar 25,3 juta ton untuk kebutuhan pangan, oleokimia dan biodisel (data diolah, 2023) atau 52% dari produksi CPO Indonesia.
Berpijak dari konsumsi domestik minyak sawit inilah, dikatakan Gulat, apabila Indonesia tetap masih menganut model regulasi kelapa sawit saat ini seperti moratorium dan regulasi terkait sawit cenderung tidak padu serasi, sangat lambatnya program Peremajaan sawit rakyat (PSR), tidak move on nya petani karena keterbatasannya, serta tidak terkendalinya kampanye negatif terhadap sawit yang justru berasal dari dalam negeri.
Gulat menjelaskan apabila kondisi saat ini terus berlangsung (naiknya kebutuhan domestic), maka perlu kerja keras dan harus dengan strategi peningkatan produktivitas kebun sawit terkhusus kebun sawit rakyat dan seiring itu juga diperlukan kebijakan afirmasi pemanfaatan hutan terdegradasi dan terlantar untuk dihijaukan dengan sawit.
“Jika tidak, justru malah petaka yang terjadi, yaitu kebutuhan dunia akan minyak nabati sawit untuk pangan dengan kebutuhan sumber energi akan tarik-menarik dan Indonesia malah berpotensi akan menjadi salah satu negara pengimpor minyak nabati sepuluh tahun kedepan tepatnya 2034,” pungkas Gulat.