“Kita jangan langsung ke timur, Mas. Di depan kita gunung, baiknya keselatan dulu sampai cukup tinggi, nanti ke timur”.
Saya sudah paham dengan kompas bentuk bola yang tergantung di kokpit itu. Angka yang terlihat pada garis yang merah itu menunjukan arah pesawat. Kalau angka 0, artinya nol drajat atau utara. Kalau angka 12, artinya 120 drajat dari arah utara, yaitu tenggara. Sekarang posisi kompas menunjuk angka 9, artinya 90 drajat atau timur. Di Medan di landasannya 5 dan 23. Itu artinya arah 50 drajat kalau pesawat mendarat dari arah Pancur Batu dan 230 drajat kalau pesawat mendarat dari arah kota Medan.
Suasana dalam kokpit sudah bercampur adauk was-was dan cemas. Dengan cepat Kapten Djoko menangkap maksud saya dan membelokan pesawat ke arah selatan. Kompas sekarang menunjuk angka 18. Kalau dari Seunagan mengambil arah langsung ke timur sudah dipastikan pesawat langsung berhadapan dengan gunung.
Setelah terlihat angka 9.000 pada altimeter, saya bilang, “Sekarang kita boleh ke timur”.
Mas Djoko membelokan pesawat dengan sikap yang baik, kompas menunjukan angka 9. Beberapa saat kemudian kami keluar dari awan tebal dan melihat hutan dan perkebunan di bawah kami. Beberapa benda darat dikenal oleh Mas Djoko. Dia berkata dengan rasa pasti. “Kita di atas Sawit Seberang”, katanya menyebut nama perkebunan yang tidak jauh dari kota Stabat.
Sumber : Derom Bangun