JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Menjelang COP26, Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS), pusat layanan data cuaca dan atmofe yang didanai Uni Eropa, merilis rekor tingkat emisi karbon global sepanjang Juli dan Agustus 2021.
CAMS menyebut Mediterania, Siberia, dan Amerika Utara (AS dan Kanada) sebagai wilayah penyumbang terbesar kebakaran hutan yang meluas.
Kabar baiknya Indonesia dikatakan bukanlah salah satu kontributor utama dari rekor emisi karbon yang tinggi ini.
Seperti dilansir dari laman foresthint. com, CAMS mengumumkan bahwa pada bulan Juli terjadi emisi hampir 1,26 miliar ton CO2 yang belum pernah terjadi sebelumnya ke atmosfer akibat kebakaran hutan yang sebagian besar terjadi di Amerika Utara dan Siberia.
Rekor ini meningkat pada Agustus ketika diperkirakan lebih dari 1,38 miliar ton CO2 dilepaskan dari kebakaran hutan, menciptakan polusi asap dalam jumlah besar.
Sementara menurut data emisi karbon akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kontribusi Indonesia terhadap emisi kebakaran hutan global pada bulan Juli dan Agustus masing-masing sebesar 0,25% dan 0,36%.
Pengumuman CAMS tentang angka Juli dan Agustus, juga didukung oleh data KLHK sendiri, membuktikan bahwa Indonesia hanya menjadi penyumbang yang sangat kecil untuk emisi kebakaran global menjelang COP26.
Peran Indonesia yang sangat kecil dalam menyumbang emisi kebakaran global tidak hanya terbatas pada tahun ini saja. Seperti tahun lalu, Indonesia bukan salah satu negara kontributor utama emisi tersebut, seperti yang ditekankan Presiden Joko Widodo baru-baru ini dalam pidato virtualnya di Majelis Umum PBB ke-76 (23 September 2021).
Indonesia juga diperkirakan akan melewati September seperti Agustus tanpa mengalami kebakaran besar yang menyebabkan kabut asap, meskipun bulan-bulan ini bersama dengan Oktober merupakan puncak musim kemarau di negara ini.
Sejak lima tahun terakhir, upaya pengendalian karhutla di Indonesia telah menunjukkan capaian positif. Koordinasi dan kerja sama lintas instansi pusat dan daerah, serta instansi penegak hukum telah menurunkan kejadian karhutla secara drastis. Data KLHK terbaru mencatat bahwa luas areal terbakar akibat karhutla telah menurun tajam pada 2020, yaitu mencapai 82 persen sejak karhutla terbesar di tahun 2015.