Pada perkebunan kelapa sawit untuk setiap pengunaan satu GJ energi fosil-fuel dapat menghasilkan energi minyak nabati sebesar 2 ton. Sementara dari soybean hanya diperoleh 0,34 ton minyak nabati dan 1,4 ton minyak rapeseed. Hal ini bemakna bahwa dalam upaya internasional menghemat pengunaan energi fosil maka pengunaan energi fosil untuk energi minyak sawit dapat menjdai pilihan rasional.
Polusi atau emisi penggunaan pupuk (N,P) dan pstisida ke air maupun ketanah, perkebunan kelapa sawit lebih rendah/minimum dibandingkan dengan soybean dan rapeseed. Fakta ini berarti proses produksi minyak sawit jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan soybean dan rapeseed. Selain sumberdaya lahan dan penggunaan input, masalah pengunaan air juga perlu dilihat. Dewasa ini masalah kelangkaan air juga menjadi perhatian masyarakat dunia. Selama ini berkembang opini kehadiran perkebunan kelapa sawit dituduh menghisap banyak air sehingga membuat kekeringan daerah sawit.
Tebu (sugar cane) merupakan jenis tanaman biofuel yang paling hemat mengunakan air untuk setiap satuan energi yang dihasilkan. Urutan kedua terhemat adalah minyak sawit, kemudian disusul sunflower dan soybean. Jagung dan umbi kayu ternyata lebih banyak mengunakan air. Tanaman rapeseed adalah yang paling boros mengunakan air. Dengan fakta tersebut menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit adalah salah satu salah satu tanaman biofuel yang hemat air. Lebih hemat dari pada soybean, rapeseed, cassava maupun jagung. Dengan demikian opini yang menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit adalah rakus air, tidak didukung fakta atau tidak benar.
Sumber: PASPI