Ida Febriantine merupakan seorang breeder yang fokus untuk mendalami teknologi kultur jaringan kelapa sawit. Kemampuannya sangat membantu industri kelapa sawit dalam upaya mendapatkan varietas bibit kelapa sawit berkualitas terbaik.
Ida Febriantine, satu dari banyak perempuan di Indonesia yang tidak mudah puas dengan kemampuan (ilmu) yang dimiliki. Setelah menyelesaikan Pendidikan Jurusan Kehutanan perguruan tinggi negeri dan meraih gelar strata-1 (S1) di tahun 1996, ia bergabung di perusahaan kertas PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) sebagai Tree Breeder dalam pemuliaan tanaman.
Kendati sudah bekerja namun semangat belajarnya tidak surut. Semangat belajar yang tinggi menjadi bekal untuk melanjutkan pendidikan program studi Quantitative Genetic, di National Chung Hsing University, Taichung, Taiwan pada 1998. Ida panggilan akrabnya, meneruskan pendidikan karena ingin memperdalam pengetahuan genetika hutan dan mempelajari ilmu kultur jaringan tanaman di Belgia. Pada 2003, ia pulang ke Indonesia dan kembali bekerja di RAPP untuk mengimplementasikan metode isolasi jaringan tanaman yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman.
Kemampuan yang dimiliki menjadikan dirinya dipercaya memimpin Clonal Oil Palm Production Unit (COPPU) Asian Agri. COPPU adalah laboratorium yang mengembangkan dan memproduksi tanaman kelapa sawit yang diproses dari bagian tanaman kelapa sawit yang terseleksi secara ketat, ditumbuhkan ke media tanam khusus tanpa melalui proses perkawinan.
Ia kuliah program studi kehutanan di Universitas Gajah Mada (UGM) 1996. Kala itu, tidak banyak perempuan yang berminat untuk kuliah di program studi tersebut. “Tapi, saya melihatnya sebagai suatu kesempatan,” ujarnya.
Ida menjabat Senior Manager COPPU. Dirinya memimpin unit riset yang membantu tim Breeding untuk mempropagasi pokok kelapa sawit dengan terlebih dahulu menyeleksi sifat dan karakter tanaman kelapa sawit yang berguna untuk tujuan sustainability dan peningkatan produktivitas serta kualitas. “Bidang ini saya lihat membuka banyak peluang di kemudian hari karena makin terbatasnya lahan yang dapat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit,” ungkapnya dalam jawaban tertulis yang diterima tim redaksi Majalah Sawit Indonesia.
Selanjutnya, perempuan asal Yogyakarta ini menceritakan awal mula berkarir di Asian Agri. Pada 2005, ia mulai bergabung Asian Agri. “Waktu itu saya masih melakukan dua pekerjaan yaitu kultur jaringan tanaman kehutanan di Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan tanaman kelapa sawit (Asian Agri). Baru pada 2007, saya secara formal dimutasikan ke Asian Agri untuk fokus menangani tanaman kelapa sawit,” jelas Ida.
Sebagai perusahaan perkebunan ternama, Asian Agri terus berinovasi dengan melakukan riset mengembangkan tanaman kelapa sawit untuk meningkatkan produktivitasnya. Salah satunya melalui pengembangan bibit dengan cara kultur jaringan (tissue culture) di COPPU yang berlokasi di Provinsi Riau (Sumatera). Penelitian kultur jaringan di Asian Agri telah dimulai sejak tahun 2005, namun bangunan laboratorium sesungguhnya baru didirikan tahun 2012.
Setiap pekerjaan tentu ada tantangan yang kerap dihadapi. Menurut Ida, secara umum tantangan yang dihadapi semua laboratorium kultur jaringan adalah ketersediaan materi yang benar-benar bagus secara berkesinambungan.
Selain itu, lanjut Ida untuk melakukan proses kultur jaringan hingga menjadi bibit siap tanam rata-rata dibutuhkan waktu 1,5 tahun. Proses menghasilkan ramet (red-bibit sawit hasil kultur jaringan) yang dapat diaklimatisasi di hardening nursery. Proses selanjutnya serupa dengan bibit konvensional dari kecambah yaitu melewati pre-nursery dan main-nursery, dengan total waktu kurang lebih setahun.
“Jadi dari ramet mulai dikirim ke hardening nursery sampai siap tanam di kebun adalah 2,5 tahun,” jelas perempuan yang hobi olahraga Hapkido dari Korea.
Pengembangan bibit sawit yang dikembangkan dengan kultur jaringan memiliki keunggulan. Diantaranya ramet kultur jaringan secara karakter dan sifatnya akan mengikuti ortet atau induk karena merupakan proses pembiakan vegetatif. Alhasil, pertumbuhan bibit jauh lebih homogen karena ibaratnya “fotokopi” satu sama lain.
Sementara itu, bibit yang berasal dari kecambah pembiakan generatif, akan memadukan karakter kedua induk. Segregasi acak dari pembiakan generatif mengakibatkan variasi pada keturunannya sehingga homogenitas tanaman lebih kecil.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 99)