Hilirisasi industri menjadi salah satu topik pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sidang tahunan MPR RI pada 16 Agustus 2023. Kelapa sawit termasuk komoditas yang bertransformasi dari mengandalkan ekspor bahan mentah menjadi produk turunan bernilai tambah tinggi.
Presiden Jokowi menyampaikan Indonesia tidak boleh menjadi bangsa yang sebatas mengekspor sumberdaya alamsaja. ”Kita tidak cukup kaya sumberdaya alam (SDA) saja. Jadi pemilik saja juga tidak cukup. Karena itu akan membuat kita menjadi bangsa pemalas, yang hanya menjual bahan mentah kekayaannya tanpa ada nilai tambah, tanpa ada keberlanjutan,” ujarnya.
Karena itulah, ditegaskan Jokowi. Indonesia harus menjadi negara yang juga mampu mengolah sumberdayanya, mampu memberikan nilai tambah, dan menyejahterakan rakyatnya. ”Dan, ini bisa kita lakukan melalui hilirisasi, yang sudah ratusan kali saya sampaikan, puluhan kali saya sampaikan.”
Dalam pidato di sidang tahunan, Presiden Jokowi tercatat dua kali menyebutkan sawit terkait hilirisasi. Pertama, dijelaskan Presiden bahwa hilirisasi yang kita lakukan tidak hanya pada komoditas mineral, tapi juga non-mineral, seperti sawit, rumput laut, kelapa, dan komoditas-komoditas potensial lainnya.
Kedua, Dan, jika kita konsisten dan mampu melakukan hilirisasi untuk nikel, kemudian tembaga, kemudian bauksit, kemudian CPO, dan rumput laut, dan yang lain-lainya, berdasar hitung-hitungan perkiraan dalam 10 tahun pendapatan per kapita kita, dalam 10 tahun mendatang pendapatan per kapita kita akan mencapai Rp153 juta (USD10,900).
Sahat Sinaga, Plt. Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia, mengangkat dua jempol begitu mendengar pidato Presiden Jokowi.”Itis a very extraodinary and complete speech karena (pidato) dengan dukungan data-data. Bagi kami yang telah berkecimpung lama di sektor industri sawit sangat setuju dengan arahan beliau terkait hilirisasi,” urai lulusan ITB Teknik Kimia ini.
Sahat menjelaskan bahwa jalur hilirisasi sawit memberikan nilai tambah yang lebih baik, disertai dengan penguasaaan teknologi (TKDN Tinggi). Jadi, hilirisasi dari sawit itu tidak ada hentinya, selain hilirisasi dari minyak sawit dan CPKO menjadi produk surfactant, detergent, kosmetik yang bernilai 4 sampai dengan 6 kali harga dasar minyak sawit mentah.
“Satu lagi hal yang tidak kalah penting, ada “mutiara tersembnyi selama ini di Industri sawit, yaitu masih 8 sampai 9 bagian lagi dari produk sawit itu berupa biomass, selama ini masih terbuang berupa pelepah sawit, tandan kosong dan fiber yang semuanya adalah material dasar cellulose,” kata Sahat.
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika menyampaikan, beberapa keuntungan yang telah didapatkan dari program hilirisasi industri kelapa sawit, antara lain optimalisasi penyerapan hasil produksi petani rakyat (small holder), penyediaan bahan pangan, nonpangan, dan bahan bakar terbarukan, hingga membangkitkan ekonomi produktif berbasis industri pengolahan.
“Selain itu, meningkatkan perolehan devisa negara dari ekspor produk hilir, berkontribusi pada keuangan negara melalui penerimaan pajak dan bukan pajak, serta menyuplai kebutuhan dunia terhadap pangan dan energi (feeding and energizing the world),” ungkapnya di Jakarta, Senin (14/8).
Putu juga menegaskan, Kemenperin menerapkan bauran kebijakan (policy mix) secara konsisten dalam menjalankan program hilirisasi industri kelapa sawit. Hal inididasari melalui Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional 2015-2035 dan beberapa peraturan tentang Kebijakan Industri Nasional.
“Peta jalan pengembangan industri hilir kelapa sawit diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 111/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit, yang menjadi prakarsa penentuan prioritas pengembangan industri hilir kelapa sawit,” paparnya.
Terdapat dua kebijakan utama dalam mempercepat pertumbuhan populasi industri hilir kelapa sawit, yaitu kebijakan fiskal tarif bea keluar progresif sesuai rantai nilai industri, serta insentif perpajakan bagi investasi baru atau perluasan sektor industri oleofood, oleochemical, dan biofuel. “Kedua kebijakan ini sangat efektif dalam mendorong hilirisasi industri kelapa sawit,” imbuhnya.
Putu menerangkan, dalam sejarahnya, hilirisasi industri kelapa sawit konsisten dijalankan sejak tahun 2007. Pada saat itu ekspor minyak sawit mentah atau Crude palm Oil (CPO) sekitar 60 persen dari total ekspor kelapa sawit nasional. Padahal, CPO digunakan sebagai bahan baku industri pangan, non pangan dan biofuel di negara tujuan ekspor sehingga nilai tambahnya kurang dinikmati oleh domestik.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 142)