Dampak resesi global mulai dirasakan eksportir sawit. Di awal 2023, ekspor turun lantaran negara pembeli telah menimbun stok semenjak tahun lalu.
Badan Pusat Statistik merilis data ekspor unggulan nasional (Crude Palm Oil/CPO dan turunannya, Baja dan Besi, Batubara) terjadi penurunan nilai. Untuk CPO dan turunannya mencapai US$ 1,9 miliar pada Januari 2023. Nilai tersebut lebih rendah 8,5% dibandingkan ekspor Desember 2022 atau month to month, namun lebih tinggi 6,2% dari nilai ekspor Januari 2022 atau year on year.
Deputi Bidang Statistik Produksi – Badan Pusat Statistik (BPS), M. Habibullah, mengatakan jika kita lihat lebih mendalam, penurunan komoditas besi dan baja serta minyak kelapa sawit disebabkan oleh penurunan volume ekspor.
“Dari catatan BPS, volume ekspor CPO sebesar 2,2 juta ton pada Januari 2023. Volume ekspor tersebut turun dibandingkan Desember 2022 mencapai 2,4 juta ton,” ujarnya, di Kantor Pusat BPS, Jakarta, pada Rabu (15 Februari 2022).
Dari informasi yang dihimpun redaksi Majalah Sawit Indonesia, penurunan volume ekspor disebabkan tiga faktor yaitu penurunan harga CPO, lemahnya permintaan dan juga penyerapan domestik yang lebih besar karena program Biodiesel. BPS mencatat rata-rata harga CPO ekspor Indonesia mencapai US$ 942 per metrik ton (MT) pada Januari 2023. Harga CPO tersebut turun dari level tertinggi tahun ini yang mencapai US$ 1.065 per MT yang terjadi pada Senin, 2 Januari 2023.
Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif PASPI, menengarai ekspor sawit mulai merasakan dampak resesi di negara pembeli. Kondisi industri sawit global, memang tren harga CPO dan minyak nabati lain turun.
“Jadi ancaman resesi itu riil yang mulai terasa di dunia sehingga mengurangi permintaan minyak sawit. Stok sawit di negara importir sudah di atas sebelum pandemic. Akibatnya, permintaan dari negara pembeli telah dikurangi,” ujar Tungkot.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau GAPKI, Joko Supriyono. Dari sisi ekspor 2022 sebesar 30,803 juta ton lebih rendah dari tahun 2021 sebesar 33,674 juta ton, berturut – turut selama 4 tahun terakhir ekspor turun. Meski jumlah ekspor turun, tetapi nilai ekspor tahun 2022 mencapai US$ 39,28 miliar (CPO, olahan dan turunannya), lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar US$ 35,5 miliar.
“Ini terjadi karena memang harga produk sawit tahun 2022 relatif lebih tinggi dari harga tahun 2021. Sepuluh negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia berturut-turut adalah China, India, USA, Pakistan, Malaysia, Belanda, Bangladesh, Mesir, Rusia dan Italia. Peringkat USA naik dari peringkat 5 pada tahun 2020 menjadi peringkat 3 sebagai negara pengimpor utama produk sawit Indonesia pada tahun 2022,” jelas Joko, dalam acara Konferensi Pers, pada Rabu (25 Januari 2023), di Jakarta.
Selanjutnya, ia mengatakan meski industri sawit menunjukkan kinerja positif di tahun lalu, namun ada catatan terutama pada sisi produksi. Produksi sawit sudah 4 tahun terakhir tidak mengalami pertumbuhan atau stagnan, padahal kebutuhan domestiknya terus meningkat.
“Di tahun ini pemerintah menaikkan campuran Biodiesel menjadi B35, pasti kebutuhan domestik akan naik. Sementara, dari sisi ekspor 4 tahun berturut-turut mengalami penurunan. Ini juga menjadi catatan, karena ekspor menjadi andalan devisa dan Pajak Ekspor (PE). Kondisi pada 2022 lalu memang paling tidak normal. Mudah mudahan ini bisa dimenej, sehingga dinamika yang terlalu bergejolak tidak terjadi lagi di tahun ini. Khususnya untuk ekspor dan produksi, kalau konsumsi domestik relatif stabil,” kata Joko dihadapan awak media.
Sementara, berkaitan dengan menurunnya produksi sawit selama 4 tahun terakhir tidak mengalami pertumbuhan atau stagnan, padahal kebutuhan domestiknya terus meningkat. “Semua perusahaan kelapa sawit sudah melakukan upaya untuk meningkatkan produktivitas untuk memperbaiki pertumbuhan ekspor kelapa sawit di Indonesia. Upaya yang ditempuh oleh perusahaan tersebut salah satunya dengan melakukan replanting atau penanaman ulang,” tegas Joko.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 136)