Apa saja prasyarat fortifikasi vitamin A untuk minyak goreng dapat dilaksanakan?
Untuk fortifikasi pangan harus berdasarkan kepada persoalan mengenai pemilihan pangan yang cocok. Namun, hal ini memerlukan banyak pertimbangan antara lain dikonsumsi sebagian besar masyarakat dalam jumlah yang variasinya kecil, pelaku industri tidak boleh terlalu banyak karena harus tersentralisasi untuk memudahkan QC, meminimalkan kepada dampak harga jual, dan fortifikasi ini tidak merubah rasa, bau, warna, serta tekstur.
Satu hal lagi yang diperlukan adalah terdapat public private partnership karena masalah ini dialami oleh masyarakat. Penanggungjawab kebijakan adalah pemerintah. Sedangkan, pihak yang memiliki media penyelesaian adalah pabrik atau perusahaan itu masyarakat.
Sebagai gambaran, di Amerika Selatan, vitamin A dititipkan ke dalam gula tetapi ini lebih mahal investasinya. Selain itu, ada perbedaan budaya di Indonesia ini misalkan di Jawa orang minum teh ditambahkan banyak gula tetapi kalau daerah lain belum tentu. Pernah juga vitamin A dicobakan kepada MSG tetapi terjadi perubahan warna. Begitupula vitamin A ditambahkan ke tepung terigu akan menjadi beban lagi. Sedangkan susu, konsumsi masyarakat masih terbilang rendah khususnya masyarakat miskin. Sama halnya dengan margarin.
Kalau ingin menjangkau warga miskin, media paling tepat adalah minyak goreng sawit . Kalau menurut saya, masyarakat lebih memilih minyak goreng sawit bukan lagi menggunakan minyak goreng kelapa akibat harganya mahal. Dari tingkat partisipasi pangan, minyak goreng mempunyai jangkauan konsumen lebih tinggi seperti dua produk lainnya yaitu nasi dan garam.
Dulu fortifikasi bersifat sukarela tetapi sekarang akan berganti menjadi mandatori. Apakah sudah semestinya ada perubahan?
Karena minyak goreng sawit di Indonesia sebagian besar dipasarkan dalam bentuk curah, maka tidak mungkin melakukan SNI secara sukarela. Ada dua alasan, pertama jika satu industri menambahkan vitamin A yang berarti ada tambahan biaya, meskipun tidak besar tetapi tidak fair. Dalam perdagangan minyak goreng selisih harga sedikit saja bisa mengakibatkan pembeli beralih ke pedagang lainnya. Kedua, dari segi manfaat jika satu produsen memfortifikasi yang lainnya tidak maka tidak akan efektif menurunkan masalah vitamin A karena di pasar, pengecer atau rumahtangga bisa saja terjadi pencampuran antara minyak yang difortifikasi dengan yang tidak difortifikasi. Karena tujuan utama fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A ini adalah untuk mencegah dan mengatasi masalah kurang vitamin A, maka harus dilakukan secara serentak agar efektif.
Kalau sukarela, lebih tidak efektif lagi. Tujuan kita bukan memfortifikasi minyak goreng sawit melainkan demi penambahan gizi. Mesti disadari, fortifikasi itu sebuah instrumen. Tapi bukan berarti fortifikasi ingin merecoki industri minyak goreng, melainkan hanya titip vitamin A saja. Meski demikian, tidak mungkin fortifikasi tanpa peran industri. Fortifikasi hanya akan sukses bila industri bersedia membangun PPP (public-private partnership) dengan pemerintah dan masyarakat. Konsepnya adalah “Good business, better public health”, meningkatkan kesehatan masyarakat melalui kegiatan industri tanpa merugikan kegiatan industri itu sendiri. Bahkan dapat dikatakan bisa untuk meningkatkan nilai tambah produk industri.
Pemberian kapsul memang telah terbukti efektif. Namun dibandingkan kapsul, fortifikasi lebih cost-effective karena delivery cost fortifikasi minyak goreng mendekati nol rupiah karena vitamin A hanya dititipkan pada minyak dan pengguna dengan sendirinya akan memakai minyak goreng seperti biasanya . Sedangkan kapsul itu butuh tenaga penyalurnya, promosi, dan masyarakat harus datang ke lokasi pembagian sehingga belum tentu seluruh sasaran datang ke Posyandu misalnya. Dari sisi biaya, kepatuhan pengguna, kepraktisan da luasnya sasaran yang tercakup, fortifikasi jelas lebih murah, mudah, efisien dalam distribusi. Pada kondisi saat ini kapsul tetap diperlukan, didampingi dengan fortifikasi minyak goreng. Dalam jangka panjang secara bertahap pemberian kapsul semakin dikurangi dan peranannya bisa digantikan oleh fortifikasi pangan dan penerapan gizi seimbang melalui gerakan sadar pangan dan gizi.
Tetapi banyak kalangan menilai fortifikasi ini kurang efektfif. Apalagi bahan baku vitamin A harus impor?
Berdasarkan perhitungan saya, impor vitamin A setiap tahun akan mencapai Rp 60 miliar- 75 miliar atau US$ 7,5 juta apabila fortifikasi benar-benar diwajibkan. Asumsinya, Sekarang ini, konsumsi minyak goreng tiap tahun berjumlah sekitar 4 juta ton. Untuk setiap 3.000 ton minyak goreng akan butuh 80 Kg vitamin A. Harga vitamin paling tinggi itu sekitar US$ 60-US$ 70 per gram.
Biaya tambahan setiap kilogram minyak goreng paling Rp 20 per kg, paling maksimum mencapai Rp 50 per kilogram itu sudah termasuk biaya pengawasan kualitas tenaga kerja, dan listrik. Nilai sebesar inikan tidak terlalu berpengaruh kepada harga jual yang sekitar 9000-10000,- rupiah, apalagi jika diterapkan secara serempak.
Memang tentu akan lebih baik kalau vitamin A ini tidak impor. Tapi mesti ditekankan akan lebih baik kalau tidak impor. Jika di dalam negeri, kita dapat menghasilkan retinial palmitat (vitamin A) itu lebih bagus dibandingkan impor.
Tetapi SNI dinilai mempersulit diversifikasi minyak goreng bervitamin A. Hal ini bagaimana ?
Studi menunjukkan bahwa beta-karoten juga efektif dalam meningkatkan status vitamin A. Ke depan tidak masalah apabila fortifikan yang digunakan adalah beta karoten, terjadi diversifikasi produk asalkan sudah ada teknologinya atau studinya sudah established. Karena beta karoten memberikan perubahan warna pada produk akhir hal ini akan sangat tergantung pada kesediaan konsumen untuk mau membeli dan pabrik mau produksi. Saat ini studi yang sudah established menggunakan retinial palmitat, ke depan jika akan dilakukan fortifikasi dengan beta karoten tentu terbuka lebar peluangnya untuk mendampingi penggunaan retinil palmitat. Hal ini dapat berperan sebagai upaya untuk diversifikasi produk sawit di satu sisi, dan disisi lain juga menyediakan alternatif fortifikan. Tentu dibutuhkan edukasi yang besar kepada konsumen terkait dengan upaya perubahan daya terima terhadap minyak goreng yang lebih berwarna, dan kepada industri pun demikian juga.
Sekali agi harus diingat, fortifikasi pangan itu alat dan bukan tujuan. Dan orang harus sadar bahaya kekurangn vitamin A karena dampak dan gejalanya itu tidak kelihatan pada penderita KVA sub-klinis. Jangan sampai, kita menjadi bangsa bangsa pemadam kebakaran, kalau ada ribuan anak mengalami gejala klinis yang berakibat kebutaan baru bertindak. Oleh karena itu, fortifikasi idealnya dinilai sebagai tindakan pencegahan bukan mengobati. (Qayuum)