JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Perwakilan masyarakat adat Merauke dan Boven Digoel menyayangkan ketidakhadiran Mighty Earth serta AidEnvironment untuk berdialog membahas hambatan industri perkebunan sawit di kedua kabupaten tersebut. Pasalnya, LSM asing tersebut gencar membuat kampanye sawit terkait Papua di negara lain, yang berimbas kepada kehidupan masyarakat setempat.
Dalam pertemuan pemangku kepentingan yang diadakan di Jakarta, Senin (27/7/2017) hadir perwakilan masyarakat adat, Bupati Merauke Frederikus Gebze, Bupati Boven Digoel Benediktus Tombonop, Anggota Komisi IV DPR Hamdani, dan Prof.Nyoto Santoso (IPB). Dijadwalkan pula akan hadir Mighty Earth dan AidEnvironment tetapi sampai acara selesai tidak ada perwakilan kedua LSM ini yang datang.
Ketidakhadiran LSM di pertemuan ini sangat disesalkan padahal undangan sudah dikirim dan diterima. “Tidak ada informasi jelas mengapa mereka (LSM) tak hadir,” ujar salah satu panitia.
Frederikus Gebze, Bupati Merauke, mengatakan pertemuan ini digagas untuk membangun dialog antar pemangku kepentingan seperti masyarakat, LSM, dan pemerintah. Sebab ada kekhawatiran dari masyarakat adat di Merauke dan Boven Digoel terhadap kampanye Mighty Earth dan AidEnvironment yang menyebutkan kelapa sawit sebagai penyebab deforestasi dan kebakaran lahan.
Kampanye LSM ini, kata Frederikus, mengakibatkan perusahaan sawit tidak berani membuka perkebunan untuk masyarakat melalui sistem plasma. “Semenjak akhir tahun lalu, masyarakat sudah mengeluhkan masalah (LSM) ini. Masyarakat datang ke saya minta penyelesaian,” ujarnya.
Menurut Frederikus, perusahaan telah berkomitmen mengalokasikan lahan untuk petani plasma setempat sebesar 20 persen dari perkebunan perusahaan. Di Merauke, sudah ada 7 perusahaan perkebunan sawit yang bersedia menyediakan lahan plasma. Tetapi terkendala isu negatif sawit yang dihembuskan LSM asing.
“Ini bukan kepentingan bupati maupun sekelompok orang melainkan hajat hidup org banyak. Kami minta NGO yang menghormati hak hidup masyarakat kami,” tegas Frederikus.
Benediktus Tambonop, Bupati Boven Digoel, meminta LSM berdialog dengan masyarakat di kabupatennya untuk mencari jalan keluar terhadap masalah saat ini. Hampir setiap hari masyarakat ini menanyakan kepada pemerintah daerah setempat.
“Mereka tanya kapan plasma dapat dibuka. Kalau LSM dapat berikan solusi untuk menjamin hidup masyarakat, silakan bicara. Tapi kalau hanya bicara sebaiknya (LSM) hentikan saja tidak menyelesaikan masalah masyarakat,” ujar Benediktus
Luwy Leonufna, Juru Bicara Tunas Sawa Erma, mengatakan rata-rata luasan plasma yang akan dialokasikan perusahaan sekitar 4 hektare per kepala keluarga. Tetapi, komitmen ini menghadapi hambatan dari LSM asing (Mighty Earth dan AidEnvironment) yang meminta perusahaan tidak membuka lahan semenjal Desember 2016. Total luas lahan plasma yang dialokasikan PT Tunas Sawa Erma dan dua perusahaan sawit lain sekitar 15 ribu hektare.
“Kami belum buka lahan plasma karena tekanan LSM kepada perusahaan termasuk induk usaha kami. Tidak hanya bisnis sawit kami yang kena dampaknya, melainkan bisnis kami yang lain seperti plywood dan teknologi kincir angin di pasar internasional,”ungkapnya.
Hamdani, anggota Komisi IV DPR, mengatakan kampanye negatif sawit erat kaitannya dengan persaingan bisnis minyak nabati. Komoditas petani Eropa seperti kedelai dan rapeseed terancam dengan kehadiran minyak sawit. “Isu deforestasi bukan alasan kuat untuk menghambat sawit,” ujarnya.
Abraham Yolmen, Ketua Koperasi Serba Usaha Merauke,menyebutkan masyarakat sudah menunggu perusahaan membuka kebun untuk pemilik hak ulayat. Tapi hingga sekarang belum juga dibuka untuk membersihkan lahan. “Awalnya kami pikir perusahaan sengaja mengulur waktu. Tapi barulah diketahui bahwa tekanan LSM asing yang menjadi alasan perusahaan belum membuka lahan,” ujarnya.
Sementara itu, Simon Walinaulik, perwakilan masyarakat hak ulayat di Merauke, menegaskan LSM jangan mengintervensi tanah masyarakat dan melarang perusahaan buka lahan. Sebab lahan yang dibuka perusahaan ini bermitra dengan masyarakat setempat dengan memanfaatkan lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) sesuai regulasi pemerintah.
Firman Soebagyo, Ketua Panja RUU Perkelapasawitan DPR, mengatakan sebaiknya NGO mau datang ketika diundang berdialog mengenai perkelapasawitan.
“Harusnya hadir justru jangan menghindar. Sikap yang tidak gentle semakin menyakinkan kecurigaan bahwa tuduhan mereka (LSM) tidak punya dasarnya,”tegas Firman.