Karachi, SAWIT INDONESIA – Executive Director OilWorld, Thomas Mielke, menjelaskan penurunan produksi kelapa sawit memberikan pengaruh signifikan di pasar global saat konsumsi dunia meningkat. Dalam hal ini, Industri kelapa sawit Indonesia tetap akan mendominasi pasar minyak nabati global yang menguasai 32% produksk minyak nabati dan 53% ekspor di pasar global di tahun 2024.
“Peningkatan produksi kelapa sawit dalam setahun hanya sekitar 1,7 juta ton atau bahkan kurang. Jumlah ini jauh lebih rendah dari biasanya yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir sejak 2020 yakni 2,9 juta ton,” jelasnya dalam Pakistan Edible Oil Conference di Karachi, Pakistan.
Penurunan produksi utamanya dikarena turunnya produksi sawit Indonesia sebagai negara produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar. Begitu pula adanya El Nino atau gelombang panas ekstrem di berbagai belahan dunia di akhir tahun 2023 tidak memberikan pengaruh lebih signifikan dibandingkan penurunan produksi kelapa sawit di Indonesia.
Mielke menjelaskan bahwa penurunan rerata produksi setiap tahunnya harus menjadi alarm bagi suplai dan permintaan minyak nabati dunia. Ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam peningkatan produksi antara lain minimnya peremajaan sawit di mana sekitar 30 persen dari tanaman di Malaysia berusia lebih tua, moratorium sawit, defisit jumlah tenaga kerja, kenaikan biaya produksi, dan persoalan manajemen
“Harga minyak sawit telah mencapai puncak terendah sepanjang 2023, lalu harga akan berada di atas rata-rata pada 2024 dan 2025 akibat kekurangan pasokan minyak sawit,” urainya.
Proyeksi harga CPO berdasarkan analisis Mielke diperkirakan US$1020/ton pada 2024. Sedangkan pada 2023, rerata harga CPO sebesar US$987/ton.
Senada dengan Mielke, Director Godrej Internasional ltd, Dorab Mistry menyebutkan selain faktor supply kelapa sawit Indonesia di pasar yang menurun, kebijakan bioenergi atau biodiesel dan sustainable Aviation fuel (SAF) di berbagai negara juga turut menjadi faktor yang akan memepengaruhi harga pasar di tahun 2024. Pasalnya hingga kini belum terlihat adanya potensi peningkatan produksi minyak nabati lain dengan kuantitas total yang setara.
Selain itu, dalam konferensi yang diselenggarakan untuk keenamkalinya tersebut, eskalasi geopolitik global tak kalah menjadi faktor yang memoengaruhi ketidakpastian harga minya nabati global di tahun 2024. Selain belum selesainya eskalasi di laut hitam, dampak dari memanasnya laut merah tentu saja harus diantidipasi dengan sangat cermat dampaknya terhadap supply dan juga ketersediaan akses logistik.