Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009 menjanjikan ke dunia internasional untuk mengurangi emisi GHG Indonesia sebesar 26 persen (dengan usaha sendiri) dan 41 persen (dengan bantuan internasional) menuju tahun 2020. Kemudian dilanjutkan dngan LoI Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Norwegia dalam kerangaka REDD+ pada 26 Mei 2010. Dan kemudian tanggal 20 mei 2011 diterbitkan Inpres No.10/2011 yang dikenal dengan moratorium hutan dan lahan gambut. Inpres tersebut kemudian diperpanjang lagi tahun 2013 dan tahun 2015.
Terlepas dari kontroversi rencana tersebut, dari industri minyak sawit Indonesia menghadirkan dua kombinasi solusi untuk mengurangi emisi GHG Indonesia tersebut. Pertama, Melalui kebijakan mandatori yang sedang berlangsung, pengurangan pengunaan diesel dengan mengantikannya dengan biodiesel sawit. Penggantian solar dengan biodiesel menghemat emisi mesin diesel 62 persen (European Commission, JRC, 2012). Jika direalisasikan kebijakan tersebut secara penuh dapat menghemat emisi sebesar 10,3 juta ton CO2 (2015) dan 24,6 juta ton CO2 (2020). Kedua, Melalui penyerapan karbon dioksida oleh perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit secara netto menyerap CO2 64,5 ton CO2/tahun maka dengan luas perkebunan yang ada dapat menyerap karbon dioksida sekitar 691 juta ton.
Pengalaman implementasi biodiesel di Indonesia dalam kurun waktu 2014-2016 menunjukan bahwa terjadi penghematan solar fosil secara akumulatif sebesar 4,9 juta ton. Sehingga mengurangi emisi CO2 sebesar 12 juta ton CO2.
Dengan demikian, industri minyak sawit Indonesia merupakan bagian dari solusi dari program pengurangan emisi GHG Indonesia. Semakin besar volume solar yang digantikan oleh biodiesel sawit, semakin besar penghematan emisi GHG. Demikian juga semakin luas perkebunan kelapa sawit sekamin banyak karbon dioksida yang diserap.
Pengalaman Indonesia tersebut ditularkan ke negara-negara lain. Seharusnya pemerintah membawa proposal Pengurangan Emisi Global dengan Mandatori Biofuel Sawit dalam forum-forum internasional termasuk ke Amerika Serikat dan Uni Eropa. Buakan ikut-ikutan mengemis dana lingkungan seperti selama ini.
Negara-negara maju penghasil GRK terbesar selama ini harus berani mengalihkan komsumsi BBM fosil ke biofuel antara lain dari minyak sawit. Tidak ada kontribusi yang signifikan pada upaya penurunan emisi global dengan mengalihkan persoalan utama yakni mencari-cari kelemahan produsen sawit dengan logika yang jungkir balik.
Sumber: Mitos vs Fakta, PASPI 2017