JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Tinggal setahun lagi program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) akan berakhir. Target 180 ribu hektare yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) setiap tahun tak satupun tercapai.
“Lihat saja dari grafik pencapaian PSR lima tahun terakhir. Target yang dicanangkan Pak Jokowi tidak tercapai. Padahal, Mentan dan Menteri Kehutanan anak buah Presiden,” urai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Dr. Gulat Manurung, MP.,C.IMA.,C.APO, saat menjadi narasumber Diskusi Hybrid Palm Oil Financing forum yang bertemakan How Bank & Financial Institutions Support The Replanting Program di Jakarta Selasa (30/05/2023).
Dalam presentasinya pencapaian PSR mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir. Realisasi terendah seluas 17.793 ha (9,4%) pada 2022. Pun di tahun sebelumnya, PSR hanya tercapai 15,41% atau 27.747 hektare dari target 180 ribu hektare.
Capaian tertinggi PSR seluas 91.433 hektare atau 50,88% pada 2020. Angka ini naik dari tahun sebelumnya seluas 88.343 hektare atau 49,08%.
Lalu apa yang menjadi penyebab PSR berjalan lambat? Gulat menjelaskan dari survei yang dilakukan APKASINDO sekitar 84% petani sawit pengusul gagal mendapatkan PSR karena masalah kawasan hutan sehingga menghambat legalitas.
Padahal, kata Gulat, ada petani yang ikut program transmigrasi di jaman Presiden Soeharto yang jaman itu memang ditempatkan area yang ditempatinya sekarang.
“Lah lokasi transmigrasi jaman Pak Soeharto tahun 1982 itu sekarang masuk hutan lindung atau jenis kawasan hutan lainnya, padahal sertifikat BPN nya terbit tahun 1984-1990. Jadi, gak mungkin petaninya ikut PSR,” tandasnya.
Belum lagi petani lainnya yang hanya memiliki surat keterangan tanah dari kepala desa atau camat yang sawitnya rerata sudah diatas 10 tahun tapi di klaim kawasan hutan. Jadi sesungguhnya, siapa yang masuk?. Dengan histori data yang kami miliki, sesungguhnya kawasan hutanlah yang masuk ke perkebunan sawit, apalagi lokasi kebun tersebut masih belum ditetapkan atau belum dikukuhkan status kawasannya. Bukan hanya itu, ternyata petani lain yang tidak terjegal masalah kawasan, masih bermasalah karena legalitas tanah lainnya, yakni harus overlay lagi ke ATR/BPN yang prosedurnya masih sangat merepotkan kami dan berbiaya tentunya karena harus dipetakan ulang.
“Gak kena kawasan hutan, disuruh ke ATR/BPN untuk overlay lahan, disuruh masuk ke website, padahal kita petani pun gak pulak ngerti apa itu dan kek mana itu website. Kalau gak terdaftar juga, harus ukur langsung ke lapangan. Sekali turun harus banyar 1,5 juta per hektar untuk biaya itu dan ini karena ATR BPN tidak ada dana untuk itu. Lah, belum tentu disetujui PSR tapi persyaratan udah banyak kali, gimana mau ikut petani?” urai Gulat.
Hal ini sangat disayangkan Gulat karena sejatinya PSR adalah cara Indonesia untuk bangkit dan berlari menuju ekonomi cemerlang, apalagi karena dunia memang sudah dibayang-bayangi oleh resesi global.
Bagi petani sawit sendiri, ditekankan Gulat bahwa memang PSR adalah satu satunya cara bagi petani sawit untuk lebih berguna bagi negara melalui produktivitas kaitannya ke pajak, juga untuk menyiasati pendapatan petani sawit karena rendah produtifitas panen nya.
“PSR ini juga jawaban bagi kami petani supaya dapur bisa tetap ngepul. Jadi kami bisa meningkatkan pendatan pendapatan dari Rp500.000 per hektar per bulan jadi Rp2.400.000 per hektar per bulan, karena produksi bertambah,” terang Gulat.
Lebih disayangkan Gulat karena petani sawit seolah – olah petani dipersulit untuk ikut program PSR ini, padahal jelas-jelas bahwa penggunaan pendanaan untuk PSR ini menggunakan dana sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang merupakan pungutan dari hasil sawit petani juga terbeban Rp285/kg TBS nya, artinya itu hasil keringat petani sawit.
“Padahal dana sawit bukan APBN dan itu dari pungutan hasil sawit kami dalam bentuk Pungutan Ekspor (PE) dan Bea Keluar (BK) tapi kenapa pemerintah membuat prosedur mengeluarkan uang dengan standar-standar yang tidak mungkin kami gapai. Itulah PSR,” tandasnya.
Karenanya Gulat meminta agar pemimpin di masing – masing kementerian yang berbeda ini agar duduk berdiskusi satu meja untuk mensingkronkan dan mempermudah akses program PSR ini bagi petani sawit.
“Kan Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan sama -sama anak buah Pak Jokowi, kenapa gak bisa duduk diskusi sebentar, biar singkron lah,” ujar Gulat.
Selain itu, melihat angka biaya produksi yang meningkat tajam dua tahun belakangan ini, Gulat juga meminta agar pemerintah meningkatkan jumlah bantuan pendanaan dari BPDPKS agar petani juga tidak susah mencari pendanaan dari perbankan untuk menyelesaikan PSR ini.
“Kami juga tidak minta dibantu semua, tapi minimumlah 75% lah dari total biaya penyelesaian PSR atau setara Rp52.760.000 lah. Jadi petani gak pusing cari pinjaman karena memang petani sawit itu paling gak suka pinjam duit, belum lagi urusan cek banking yang cenderung sulit dipenuhi petani. Petani tambah pusing lagi,” pungkas Gulat sambil menghela nafas.