Disparitas haraga CPO antara harga aktual di pasar domestik dengan harga yang ditetapkan pemerintah mengindikasikanterjadinya penyelundupan (smugling) dari pasar domestik keluar negeri. Hal ini dimungkinkan karena adanya intensif yang cukup besar yakni disparitas harga CPO antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan harga ekspor. Volume CPO yang diselundupkan keluar negeri ini diperkirakan cukup besar sedemikian rupa, sehingga melalui mekanisme di pasar domestik, harga aktual menjadi lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah.
Kemudian, disparitas harga CPO antara pasar belawan (f.o.b. Belawan) dengan pasar dunia (Rotterdam) yang cukup besar, mengindikasikan bahwa kebijakan orientasi pasar domestik yang ditempuh pemerintah waktu itu juga dimanfaatkan oleh para pedagang perantara/pembeli CPO internasional dengan cara menekan harga pembelian CPO dari Indonesia. Kebijakan orientasi pasar domestik tersebut dibaca para pemain CPO dunia sebagai ketidak pastian supply CPO dari Indonesia, sehingga direspons dengan cara menekan harga (manage risk).
Lantas siapa yang diuntungkan dengan kebijakan tersebut? Apakah kebijakan tersebut efektif menjaga stabilitas minyak goreng domestik sebagaimana tujuan kebijakan? Untuk menjawab hal ini mari kita lihat perkembangan harga minyak goreng dalam negeri dalam kurun waktu 1980-1994.
Harga minyak goreng di Indonesia mengalami fluktuasi selama periode tahun 1980-1994. Tingkat penurunan harga minyak goreng tertinggi terjadi pada tahun 1990 yakni 18%. Sedangkan kenaikan tertinggi terjadi tahun 1983 yang mencapai 24%. Secara keseluruhan, rata-rata kenaikan harga minyak goreng di Indonesia selama kebijakan tersebut mencapai 6,4%, atau kurang lebih sama dengan laju inflasi selama periode tersebut. Dengan demikian, kebijakan tersebut gagal menjaga stabilitas minyak goreng di dalam negeri.
Sumber : GAPKI