Herfinta Grup fokus kepada program pendidikan yang mengajarkan bahasa Inggris dan teknologi informasi kepada guru dan siswa. Membangun percaya diri siswa untuk berbicara bahasa Inggris dan tidak gagap teknologi (gaptek).
Semenjak dua tahun lalu, PT Herfinta Farm&Plantation melalui Yayasan Bunda Siti Banun membuat program yang membantu siswa dan guru di pedesaan terutama di wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris. Program ini bernama Let’s Talk! yang telah berjalan di empat sekolah antara lain dua sekolah di Medan dan dua sekolah di Labuhan Batu, Sumatera Utara.
“Program ini bertujuan supaya masyarakat di wilayah pedesaan dapat menghadapi MEA (pasar bebas ASEAN),”kata Debby Pane, Direktur PT Herfinta Farm&Plantation.
Berdasarkan studi English Proficiency Index (Indeks Kecakapan Bahasa Inggris) 2014, kemampuan masyarakat Indonesia dalam berbahasa Inggris berada pada peringkat ke-28 di antara 63 negara di dunia. Dalam riset ini disebutkan masyarakat Indonesia yang berada di kota besar punya keahlian berbahasa Inggris lebih baik daripada yang tinggal di pedesaan.
Menurut Debby Pane, perusahaan ingin berkontribusi membantu siswa maupun guru di wilayah yang jauh dari perkotaaan supaya fasih berbahasa Inggris. Bagi sebagian besar masyarakat masih ada pemikiran bahwa belajar bahasa Inggris itu mahal, susah, dan ribet. Padahal, pemahaman ini tidak sepenuhnya benar.
“Lets Talk dibuat supaya mereka bisa belajar bahasa Inggris mudah dan fun. Peserta tidak perlu memikirkan tahu pronunciation dan tenses. Yang penting mereka pede dulu,” ujar Debby.
Selama tiga bulan, kata Debby, peserta program diajak terlibat untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Peserta Lets Talk! berasal dari kalangan guru dan siswa. Tidak ada syarat khusus untuk menjadi peserta Lets Talk!, syaratnya mau belajar.
Bagi siswa, mereka akan mulai program dengan orientasi 5 hari pertama, untuk menstimulasi pola pikir pembelajar pada para siswa. Masa ini adalah komponen penting dari program supaya membantu siswa menghilangkan stigma sulit belajar bahasa Inggris. Program ini memiliki 30 modul.
“Pertemuan dilakukan dua sampai tiga kali dalam seminggu setelah siswa pulang sekolah. Supaya tidak menganggu pelajaran mereka,” jelasnya.
Guru sekolah yang menjadi peserta program ini akan fokus peningkatan cara pengajaran bahasa Inggris kepada para siswa. Mereka aktif terlibat selama tiga bulan. Pendekatan kepada guru dimulai masa orientasi 5 hari pertama untuk mempersiapkan transisi pengajaran ke metode baru, sesuai kurikulum yang telah disiapkan. Selanjutnya, mereka mengikuti proses pembelajaran yang terdiri 12 modul yang juga menggunakan metodologi percepatan pembelajaran.
Baik guru dan siswa sekolah yang ikuti program berada di bawah Knowledge Catalyst. Tugas Knowledge Catalyst bertanggungjawab untuk melaksanakan pendekatan pada siswa dan guru. Calon Knowledge Catalyst secara pribadi dan profesional dilatih intensif selama 6 bulan. Mulai dari pelatihan materi maupun training praktis penyampaian modul yang akan disampaikan kepada siswa dan guru.
“Syarat untuk menjadi mentor tidak harus dari kuliah pendidikan bahasa Inggris. Yang penting mereka menguasai bahasa dan berkomitmen untuk mengajar,”jelas Debby.
Dalam satu sekolah, jumlah mentor antara 4 sampai 5 orang. Mereka akan tinggal di dekat sekolah selama program berlangsung. Untuk mempermudah kerja mentor, menurut Debby, akan disediakan tempat tinggal supaya mereka tidak sulit menjangkau sekolah. “Mereka juga diberikan insentif selama mengajar,”ujarnya.
Sampai tahun ini, sudah ada 24 guru SMK Siti Banun yang menyelesaikan program ini. Pada gelombang berikutnya, program ini sedang diikuti 20 guru.
(Selengkapnya silakan baca di Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Mei-15 Juni 2016)