JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Terbitnya Inpres Penundaaan Perizinan Perkebunan Sawit mendapatkan tanggapan beragam dari pelaku usaha. Eddy Martono, Komisaris Utama PT Mega Karya Nusa mengapresiasi terbitnya aturan ini dalam rangka memperbaiki tata kelola perkebunan sawit.
“Kami menghormati inpres moratorium yang dikeluarkan pemerintah,”kata Eddy dalam sambungan telepon, Kamis (20 September 2018).
Eddy menyebutkan terbitnya inpres ini menjadi momentum baik bagi pengusaha dan pemerintah untuk meneliti histori pemberian izin perkebunan sawit. Artinya, saat kebun mendapatkan izin saat itu, apakah sesuai regulasi yang berlaku saat itu atau tidak.
Karena dalam inpres disebutkan akan memverifikasi data pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan sawit seperti peta IUP, Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan, Izin lokasi dan HGU.
“Jika terbukti sesuai aturan, sebaiknya status kebun dapat berlanjut. Inpres akan lebih baik kalau tidak berlaku surut,”jelas Eddy.
Akan tetapi, kata Eddy, inpres sebaiknya ditunjang peraturan teknis untuk memberikan kejelasan kepada dunia usaha. Semisal dalam inpres disebutkan kewajiban pelaku usaha membangun perkebunan sawit rakyat sebesar 20%. Tetapi belum jelas pembangunan kebun rakyat ini berdasarkan luas HGU atau IUP.
Sebab dalam inpres ini, ada perbedaan arahan dan tugas yang ditujukan kepada Kementerian LHK, Kementerian Pertanian, dan Kementerian ATR/BPN berkaitan kewajiban pengusaha dalam memfasilitasi pembangunan kebun rakyat sebesar 20%.
Dalam inpres, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) diminta melaksanakan alokasi pembangunan kebun rakyat sebesar 20 % berdasarkan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit.
Sementara itu dalam beleid yang sama, Menteri Pertanian akan mewajibkan pelaku usaha yang mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) supaya memfasilitasi pembangunan kebun rakyat paling kurang 20% dari total luas areal yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan.
Lain halnya dengan Kementerian Agraria Tata Ruang/Kepala BPN yang diminta menerbitkan hak atas tanah kepada rakyat dalam rangka pembangunan kebun rakyat sebesar 20% berdasarkan pelepasan kawasan hutan dan HGU.
Eddy menuturkan tidak semua perkebunan sawit yang berasal dari pelepasan kawasan hutan akan diperoleh utuh. Karena saat proses pengajuan status dan legalitas lahan mulai dari IUP hingga HGU, maka luasan yang diperoleh pengusaha berpotensi berkurang untuk digunakan bagi kepentingan konservasi dan kegiatan lain.
“Terkait pembangunan kebun rakyat, mohon ada kejelasan apakah berdasarkan luas atas pelepasan kawasan, IUP atau HGU. Dengan begitu memberikan kepastian bagi pengusaha,”pinta Eddy.
Oleh karena itu, Eddy meminta pemerintah melengkapi inpres Moratorium Sawit dengan aturan teknis dan peraturan lainnya. Harapannya memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha dan mencegah serangan NGO terhadap sektor sawit.
Dalam kesempatan terpisah, Tofan Mahdi selaku Juru Bicara GAPKI mengatakan bahwa GAPKI masih mempelajari dan membahas secara internal isi Inpres tersebut. ” Kami akan melakukan koordinasi dengan kementerian terkait,”pungkasnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menandatangani Inpres Nomor 8/2018 mengenai Penundaaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit.
Dalam beleid yang ditandatangani pada 19 September 2018, akan dilakukan penundaan pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan sawit bagi perizinan baru, serta permohonan yang telah diajukan namun belum lengkap persyaratan tapi di kawasan hutan produktif.