JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mendorong agar pemerintah mencabut kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) yang mulai berlaku sejak 23 Mei 2022 sampai saat ini. Alasannya, jika DMO dan DPO tetap berlaku pada kondisi saat ini, akan sangat berpengaruh menahan harga TBS petani untuk tidak naik.
Patut diketahui, kebijakan DMO dan DPO tersebut merupakan respon atas lonjakan harga minyak goreng domestik sejak bulan Januari 2022.
Ketua Umum APKASINDO, Dr. Gulat M.E. Manurung, MP.,C.IMA mengatakan saat ini harga minyak sawit dunia sudah turun drastis dibanding tahun 2022 ketika kebijakan awal DMO diberlakukan. Dia merinci harga RBD olein dunia (minyak goreng curah) yang menjadi target DMO dan DPO sudah lebih murah dari DPO minyak goreng curah domestik yakni Rp15.000.
“Kebijakan DMO dan DPO saat ini justru sudah membuat konsumen minyak goreng curah domestik membayar harga lebih murah dari seharusnya. Oleh karena itu, sudah saatnya DMO dan DPO dievaluasi atau dicabut,” ujar Gulat, Kamis (25/1/2024).
Dia mengatakan bahwa harga minyak sawit mentah (CPO) yang dicatat oleh posko data DPP APKASINDO, pada tahun 2023 menunjukkan penurunan sebesar 25.9% dibandingkan rata-rata harga CPO Rotterdam pada tahun 2022. Untuk rata-rata harga CPO KPBN pada tahun 2023 menunjukkan penurunan sebesar 10.7% dibandingkan rata-rata harga CPO KPBN tahun 2022.
“Pelemahan harga CPO Internasional dan KPBN sepanjang tahun 2023 telah berdampak kepada harga Tandan Buah Segar (TBS) yang di tetapkan di 22 Provinsi Penghasil Sawit,” jelas Gulat.
Untuk kedepan, ujar Gulat, sebaiknya untuk menjamin stabilitas penyediaan kebutuhan migor curah dengan target konsumen menengah kebawah (termasuk UKM kuliner) di pasok dari PalmCo, BUMN yang baru dibentuk.
Menurut dia, saat ini produksi migor di PTPN sudah mencapai 1,8 juta kilo liter dan tahun depan akan mencapai 2,6 juta kilo.
“Produksi migor PTPN tersebut difokuskan untuk domestik dengan harga bisa ditetapkan pemerintah melalui HET dan selisih dengan harga keekonomisan dibayar dari dana sawit BPDPKS. Jadi untuk produsen migor swasta biarkan menjual migornya ke pasar dunia (selain migor kemasan premium ke pasar domestik),” ungkap Gulat.
Untuk pemenuhan migor, Gulat juga berharap pemerintah segera mensahkan aturan pendirian Pabrik Mini Migor (Pamigo) yang dikelola oleh Koperasi atau UMKM untuk memenuhi pasar menengah kebawah.
“Tentu dengan regulasi yang tidak mengada-ngada seperti Permentan 03 2023 dan Kepdirjenbun 62/2023 tentang dana sarpras BPDPKS, terkhusus ke perayaratan pendirian PKS Koperasi Petani,” tuturnya.
Dengan cara demikian, ujar Gulat, jika harga minyak sawit dunia meningkat, langsung menaikkan harga TBS petani. Dan kepentingan migor konsumen menengah dan bawah serta UKM kuliner tetap terjamin oleh PTPN dan Pamigo di level tertentu.
“Jadi untuk saat ini, beban TBS dan CPO itu bertindih-tindih, seperti levy (PE), BK dan DMO/DPO ini. Kesemuanya ini sangat mempengaruhi kesejahteraan petani khususnya dan efek domino lainnya. Jika DMO dan DPO diganti dengan HET tadi, maka korporasi akan lari kencang, ekonomi berputar, hilirisasi jalan, refinary berjalan seperti keinginan Pak Jokowi dan negara akan mendapatkan dana devisa dll, dengan tanpa ‘melupakan migor rakyat karna ada Palmco, Pamigo dan BPDPKS,” pungkasnya.
Penulis: Indra Gunawan