NUSA DUA, SAWIT INDONESIA – General Manager Green Energy Apical Group, Aika Yuri Winata menyatakan pentingnya peran perusahaan dalam memperkenalkan pengembangan minyak nabati kepada dunia.
Selain itu Sustainable Aviation Fuel (ASF) bukan hanya masa depan energi terbarukan di masa yang akan datang, namun mempertegas kelapa sawit sebagai minyak nabati paling berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dunia di masa yang akan datang.
“Sektor penerbangan global adalah kontributor penting terhadap emisi CO2, mencakup 3% dari emisi pada tahun 2019. Ini juga menjadi salah satu sektor yang paling sulit untuk didekarbonisasi, dengan komitmen untuk mencapai emisi net-zero pada tahun 2050,” jelas Aika.
Apical sepenuhnya terintegrasi dan sangat efisien di seluruh rantai nilai membuka jalan bagi keterlibatan dalam biofuel, khususnya Sustainable Aviation Fuel (SAF). Karena itulah, Apical bermitra dengan Cepsa dalam pembangunan pabrik biofuel generasi kedua di Eropa Selatan yang berkapasitas 500.000 ton/tahun.
Tantangan yang dihadapi perusahaan adalah masalah pembiayaan untuk transisi ke SAF. Kendala lainnya, pasokan terbatas karena pembatasan pada beberapa jenis biomassa. Biaya tambahan dari adopsi SAF diperkirakan akan mencapai miliaran dan triliunan dolar AS bagi produsen bahan bakar, yang mengakibatkan kenaikan sebesar US$ 3-US$ 14 pada tiket rata-rata pada tahun 2030 dan US$ 13 – US$ 38 pada 2050 untuk perjalanan udara yang lebih berkelanjutan.
Yuri menjelaskan bahwa SAF muncul sebagai alternatif yang paling menjanjikan dan layak untuk bahan bakar pesawat konvensional, mampu mengurangi emisi CO2 hingga 90%.
Lebih lanjut, Aika menjelaskan Untuk mempercepat adopsi SAF dan melakukan dekarbonisasi perjalanan udara, penting untuk memanfaatkan kekuatan wilayah ASEAN. Negara-negara ASEAN secara kolektif menawarkan lebih dari 16 juta metrik ton minyak limbah dan sisa setiap tahun, dengan bahan baku potensial seperti minyak jelantah, limbah pabrik kelapa sawit, minyak tandan buah kosong, dan distilasi asam lemak kelapa sawit.
“Saat ini ada tiga hal yang masih menjadi tantangan bagi implementasi SAF di Indonesia dan juga di dunia. Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia dituntut untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit, biaya produksi bioavtur yang masih tinggi dibandingkan dengan Fossil serta kebijakan pemerintah yang saling terintegrasi dalam mendukung kebijakan bioenergi khususnya bioavtur sangat diperlukan,” pungkas Aika.
Penulis: Robi Fitrianto