Penerima sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) diusulkan menerima keringanan tarif Bea Keluar CPO. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan partisipasi perusahaan kelapa sawit supaya memiliki sertifikat minyak sawit lestari.
Kementerian Pertanian berupaya mengakselerasi program ISPO di tahun ini supaya meningkatkan jumlah peserta dari kalangan perusahaan. Gamal Nasir, Direktur Jenderal Perkebunan,mengusulkan penerima sertifikat ISPO untuk memperoleh keringan pembayaran BK CPO. Hal ini telah disampaikan Kementerian Pertanian kepada Kementerian Perdaganan.
Langkah yang diambil ini bermaksu menambah jumlah perusahaan kelapa sawit yang. Berdasarkan data Komisi ISPO, baru 40 perusahaan sawit menerima sertifikat ISPO. Ini artinya, jumlah perusahaan tersebut sangatlah kecil dibandingkan perusahaan sawit yang beroperasi di Indonesia mencapai 1.500 perusahaan.
Dalam identifikasi Direktorat Jenderal Perkebunan, mandegnya program ISPO disebabkan beberapa hal seperti sedikitnya jumlah lembaga auditor. Saat ini baru 11 lembaga antara lain Mutu Agung Lestari, Sucofindo, TUV Nord Indonesia, Mutu Hijau Lestari, BSI Indonesia, dan Loyd’s Register Indonesia.
Joko Supriyono, Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyambut baik usulan pemerintah yang ingin meringankan tarif BK CPO. Lebih lanjut lagi, menurutnya, insentif yang diberikan oleh pemerintah berupa kemudahan memperoleh izin hak guna usaha (HGU).
“Sebaiknya, perusahaan yang sudah miliki ISPO jangan dipersulit ekspansi lahan. Sementara, yang bukan penerima ISPO malahan leluasa ekspansi,” ujar Joko Supriyono.
Menurutnya, perhatian pemerintah perlu ditujukan kepada masalah daya saing minyak sawit di pasar global khususnya ketika harga CPO sedang tertekan. Untuk itu, penting kiranya dapat mengkaji ulang BK CPO supaya produk minyak sawit Indonesia mampu bersaing di pasar global. Saat ini, importir CPO seperti India telah meningkatkan tarif pajak impor minyak sawit olahan. Akibatnya, situasi ini dapat mengganggu ekspor minyak sawit Indonesia.
Togar Sitanggang, Ketua Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), mempertanyakan usulan pemberian insentif tersebut karena tidak menyentuh masalah utama lambatnya ISPO berjalan. Jika usulan ini dikabulkan, Kementerian Pertanian sama saja tidak mendukung hilirisasi produk kelapa sawit.
“Permasalahan ISPO harus diteliti mengapa berjalan lambat. Apabila lamban karena masalah persyaratan yang belum bisa dipenuhi daerah. Sebaiknya daerah yang dikejar dong. Atau kalau masalah sosialisasi yang kurang. Maka diperbanyak sosialisasinya,” ujar Togar.
Menanggapi lambatnya program ISPO ini, Direktorat Jenderal Perkebunan sudah menyusun sejumlah rencana untuk mempercepatnya. Di kesempatan terpisah, Gamal Nasir, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, mengakui terdapat sejumlah kendala misalkan jumlah sumber daya manusia dan kesekretariatan. Solusinya, kelembagaan Komisi ISPO akan disempurnakan lewat revisi Permentan 19/2011.
Revisi ini penting dilakukan, kata Gamal Nasir, dengan beberapa pertimbangan antara lain sudah dua tahun ini tidak reviu terhadap permentan ini. Terutama dengan munculnya regulasi seperti Instruksi Presiden Nomor 6/2013 mengenai moratorium, yang akan dijadikan rujukan dalam pedoman ISPO. Selain itu, Kementerian Pertanian baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/2013 sebagai hasil revisi dari aturan sebelumnya yaitu Peraturan Menteria Pertanian Nomor 26/2007.
Langkah lain adalah surat menteri pertanian kepada kepala daerah mulai dari gubernur sampai bupati supaya membantu akselerasi program ISPO. “Sudah dua kali kami kirimkan surat kepada kepala daerah,” kata Gamal Nasir beberapa waktu lalu. (Qayuum Amri)