Masing-masing perusahaan dengan berbagai strategi menghadapi tantangan tatakelola SDM Sawit di era kelimpahan teknologi dan bonus demografi.
Puncak bonus demografi Indonesia yang terjadi pada 2030 dan kelimpahan teknologi ditanggapi serius oleh para pelaku usaha perkebunan kelapa sawit. Masing-masing perusahaan menyampaikan tantangan dan solusi. Hal itu diungkap pada acara Palm Oil Human Capital Forum (PHCAF), yang menjadi side event dalam rangkaian Forum Sawit Indonesia 2022, yang diadakan INSTIPER Yogyakarta.
Ada lima perusahaan yang saat itu mewakili dalam sesi diskusi antara lain PT Astra Agro Lestari Tbk, PT Bumitama Gunajaya Agro, Teladan Prima Group, Cargill. Masing-masing mengutarakan tantangan dan memberikan solusi menyikapi tantangan tatakelola sumberdaya manusia di sektor perkebunan kelapa sawit.
Director Human Capital Astra Agro, Eko Prasetya Wibisono menyampaikan opportunity bonus demografi ini yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk menyokong pertumbuhan ekonomi. Namun di industri sawit menghadapi tantangan yaitu cost tenaga kerja (upah) yang setiap tahunnya.
“Sementara, industri hulu sawit (perkebunan sawit) tidak bisa mengontrol revenue (harga CPO), kalau dari sisi produksi mungkin bisa dijaga.Ke depan, selain yield/hektar ada satu komponen lagi yang harus diperhatikan agar bisa sustain di industri sawit yaitu berapa employee yang bisa mendukung dengan optimal dalam setiap hektar,” ujarnya, pada Senin (28 November 2022).
Lebih lanjut, ia mengatakan jadi, ha/employee menjadi sesuatu yang dominan, itu yang harus diperhatikan. “Artinya setiap produktivitas employee menigkat itu yang paling berkorelasi pada profit dibandingyield/ha. Ini yang menjadi fokus Astra Agro di tengah kelimpahan teknologi, kami juga berharap kelimpahan teknologi dapat mendukung secara optimal,” lanjut Eko.
Menyikapi kondisi tersebut, Eko menjelaskan pihaknya tidak hanya mencoba menggunakan teknologi digital, tidak sekedar men-capture data yang dapat digunakan untuk evaluasi. “Tetapi, kami mengawali dengan modernize the core, ingin mengaplikasikan operational execellent sebelum masuk ke era digitalisasi.
“Di perkebunan ada tiga klasifikasi besar yaitu proses panen, proses angkut dan proses olah (pabrik). Selama ini kita melihat dari ketiga proses itu berjalan secara parsial. Kami ingin ketiga proses itu berjalan sinergi seperti dimanufakturing sehingga berjalan sinkronisasi. Proses ini gampang diucapkan tetapi pada saat eksekusi di lapangan tidak mudah. Di Astra Agro, proses panen kita coba set-up, bagaimana proses ini bisa menunjang proses berikutnya (angkut) dan proses selanjutnya (olah),” jelasnya.
“Kami menyebut boarding system, dengan men-set updari proses panen hingga proses olah (pabrik). Kami men-set up setiap jam, pabrik terisi flat, sehingga selalu tersedia TBS yang siap diolah setiap jamnya. Bagimana caranya, yaitu men-set up darihulu (proses panen), salah satunya mengubah dari ancak tetap ke ancak miring. Dengan membuat desain bagaimana setiap proses, setiap seksi dikontrol oleh supervisi level Mandor,” tambah Eko.
“Maka kami melakukan perubahan mendasar, peran dominan dari Mandor dan Asisten sehingga harus dibuat menejemen. Dalam penerapan ini, supaya Mandor menjalankan proses ini dengan benar dan parameternya bisa kita tangkap yaitu menggunakan alat digital (gadget) yaitu aplikasi. Data itu, diolah oleh Operational Center Astra Agro. Untuk itu, kami harus mendidik mulai dari level tenaga kerja, dan supervisi (Mandor dan Asisten), ini adalah opportunity agar proses itu bisa berjalan dan sustain ke depan,” pungkanya.
Semetara, terkait dengan kelimpahan SDM milenial (bonus demografi), Agus Sutrisno, Human Capital Group Dept. Head, PT Bumitama Gunajaya Agro lebih menyoroti tantangan tatakelola di era kelimpahan SDM (Bonus Demografi) dari sisi shifting generation, merekrut tenaga kerja makin sulit, turnover karyawan makin tinggi, dan dunia perkebunan makin tidak menarik bagi generasi milenial (gen Z).
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 134)