Kontribusi besar yang diberikan industri kelapa sawit mencapai USD 25 miliar ternyata masih dipandang sebelah mata. Ini terbukti dari rendahnya komitmen pemerintah dalam pembangunan industri ini.
Dengan potensi yang dimilikinya industri kelapa sawit dapat menjadi lokomotif pembangunan daerah. Hal ini terbukti dari luas perkebunan sawit di Sumatera Selatan (Sumsel) mencapai 850 ribu hektare. Samuel Chotib Asisten Administrasi dan Umum Pemerintah Provinsi Sumsel mengatakan sektor perkebunan menempati posisi utama dalam menggerakkan kegiatan perekonomian daerah. Pada 2011, nilai ekspor perkebunan Sumatera Selatan dapat mencapai USD 3,3 miliar. Saat ini total luas perkebunan di daerahnya mencapai 2,4 juta hektare.
Jumlah tenaga kerja yang dapat terserap dari sektor perkebunan berjumlah 1,2 juta petani dan 100.000 keluarga yang menempati posisi sebagai karyawan di perusahaan perkebunan, industri pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan. Menurut Samuel Chotib, dengan jumlah satu keluarga terdiri dari 4 orang boleh dikatakan sektor perkebunan menjadi sumber penghidupan sekitar 5,2 juta jiwa.
Pada 2013, pemerintah Sumatera Selatan menargetkan ada penambahan lahan sekitar 300.000 ha, salah satunya dengan program revitalisasi perkebunan dengan pola kemitraan masyarakat. Diharapkan luas lahan kelapa sawit dapat bertambah menjadi 900.000 ha dan produksi 2,4 juta ton.
Samuel Chotib menjelaskan upaya meningkatkan investasi sektor perkebunan menuju agroindustri lewat meningkatkan pertumbuhan investasi tidak hanya di hulu, namun ke industri hilir sawit. Dengan pertimbangan, prospek industri sawit sangatlah bagus ditinjau dari fungsinya untuk dijadikan bahan makanan, industri dan energi alternatif.
Sumardjono Saragih, pelaku usaha perkebunan sawit di Sumatera Selatan, memaparkan komoditi sawit ini banyak disukai masyarakat karena 45%lahan sawit di Sumatera Selatan dimiliki petani.Saat ini, pelaku usaha menghadapi tantangan berupa upah minimum regional (UMR) . Dengan kenaikan 36,4% akan membahayakan industri sawit terutama sektor ini menyerap tenaga kerja.
Pemerintah sebaiknya mendorong peningkatan produksi petani. Di Sumatera Selatan, rata-rata produksi Tandan Buah Segar (TBS) sekitar 4-5 ton per ha dan potensinya 24 ton per ha.Menurut Sumardjono, petani plasma masih beruntung ditopang perusahaan yang berperan sebagai inti sehingga akses ke pabrik lebih terjamin.
“Masalahnya, petani swadaya sering dilupakan atau berjuang sendiri. Mata rantai yang panjang ke pabrik kelapa berakibat kepada rendahnya harga TBS. Peremajaan pohon sawit (replanting) perkebunan sawit rakyat diperkirakann 15.000 hektare,” kata Sumardjono dalam Seminar dan Musyawarah Cabang Gapki Sumatera Selatan pada pertengahan September.
Di lapangan, seringkali ditemukan kejadian pengalihan kepemilikan sertifikat tanah. Sumardjono mengatakan hal ini akan menyulitkan petani untuk proses mengajukan pinjaman kepada perbankan. Paling utama, sebaiknya diperkuat penegakan hukum di Sumsel sebab cuku banyak regulasi yang membebani pelaku usaha dengan lahirnya peraturan daerah.
Menurut Sumardjono, maraknya retribusi kepada pihak ketiga antara lain pungutan pajak penerangan jalan dan perda larangan kendaraan perkebunan melewati jalan umum. Dapat terliht terjadi ketidakadilan kalau dilihat dari penerimaan Bea keluar CPO pada 2012 mencapai Rp21 triliun seharusnya pemerintah bisa mengembalikan untuk kemajuan perkebunan sawit.
Dalam pengembagan industri sawit, di sisi lingkungan musti tetap dijaga. Karena, menurutnya, tantangan yang dihadapi tidak ringan mengakut isu negatif berupa kebun sawit merusak lingkungan, menghilangkan biodiversity,penyebab degradasi lahan dan hutan serta terpinggirkan penduduk lokal.
Untuk menunjang pengembangan perkebunan, pemda sudah membanagun infrastruktur jalan dan jembatan, mempercepat pembangunan industri sawit. Adanya rencana pembatasan jalan untuk angkutan sawit ini lantaran isu rusaknya jalan akibat angkutan batubara. “Jadi ini baru usulan untuk membatasi lalu lintas angkut sawit di jalan raya,” tandasnya.
Menteri Pertanian Suswono mengungkapkan, sawit ini kepentingan nasional yang bisa dicintai tapi tidak dibenci. Pada tahun 2012, luas perkebunan sawit mencapai 8,9 juta ha. Dimana perkebunan sawit hampir 40% dimiliki oleh rakyat dan Indonesia didapuk sebagai produsen sawit terbesar di dunia. Tahun ini diperkirakan produksi CPO mencapai 28 juta ton.
Ke depan, tantangan yang dihadapi industri sawit adalah ekspor sawit akan bersaing dengan kepentingan dari negara pengimpor. Jadi, kata Suswono, sawit ini sebenarnya adalah saingan dari tanaman seperti rapeseed dan bunga matahari. “Maka dari itul dengan berbagai cara dengan alasan ilmiah, sawit coba dihambat. Tetapi hal ini masih bisa diperdebatkan,” katanya.
Oleh karena itu, Indonesia perlu menyiapkan fakta ilmiah untuk melawan upaya yang mendiskreditkan kelapa sawit. Di Australia, kata Suswono, tindakan labelisasi produk makanan anti sawit walaupun belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah bahwa sawit tidak aman untuk kesehatan.
Suswono mengakui dulunya lahan sawit adalah bekas hutan karena itu dulunya peninggalan kebijakan masa lalu yang salah. Namun, lebih salah lagi apabila tidak dimanfaatkan lahan tersebut misalkan dengan menanam sawit. Karena tanaman ini mampu berkontribusi terhadap mengurangi emisi.
Tungkot Sipayung, Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)menuturkan isu lingkungan bukan hal baru yang sudah berlangsung semenjak 1980. Kampanye negatif yang terjadi ini semata-mata persoalan bisnis. Kelapa sawit merupakan tanaman paling efisien dan paling murah yang sulit dibendung oleh Amerika Serikat dan Eropa tidak bisa mebendung kemajuan sawit. “Akhirnya lahir isu lingkungan untuk merusak citra sawit,” jelas Tungkot
Dia menjelaskan industri sawit akan membantu pemulihan perekonomian nasional cukup besar. Industri sawit merupakan penyumbang ekspor terbesar nasional dari komoditas non migas. Pada tahun lalu, nilai ekspor mencapai USD 23 miliar dan tahun ini hingga Juli mencapai USD 10,5 miliar. Dengan defisit perdagangan ekspor yang terjadi, sudah tepat kebijakan pengurangan solar impor. Oleh karena itu, ekspor sawit digenjot dan ganti solar impor dengan biodiesel.
Dalam Musyawarah Cabang yang berlangsung pada 13 September 2013, anggota Gapki Sumatera Selatan memilih Rusdan Zaini Lubis sebagai Ketua Gapki Cabang Sumatera Selatan yang menggantikan Sumardjono Saragih. Rusdan Zaini Lubis akan memegang amanah untuk jangka waktu 2013-2016 (Qayuum)