Indonesia beruntung menjadi produsen terbesar minyak sawit dunia. Kalau tidak, pemerintah akan kelimpungan mencari bahan baku bagi pengembangan industri biofuel khususnya biodiesel. Ditengah defisit neraca perdagangan Indonesia, produsen biodiesel siap membantu pemerintah dalam menyuplai produksinya sebagai pengganti impor minyak bumi.
Kebijakan ini diharapkan tidak bersifat sementara namun lebih jauh lagi ditetapkan menjadi program nasional pemerintah. Dengan pertimbangan, biofuel mempunyai peranan vital dalam memperkuat ketahanan nasional di sektor ekonomi dan ketahanan negara. Paulus Tjakrawan, Sekjen APROBI, yang telah malang melintang di dunia biofuel ini, menerima kedatangan tim redaksi SAWIT INDONESIA untuk berdiskusi terkait kebijakan mandatori biofuel yang masuk ke dalam paket penyelamatan ekonomi negara. Di bawah ini, petikan wawancara yang berlangsung di kantornya, di kawasan Casablanca, Jakarta Selatan:
Pemerintah akan meningkatkan penggunaan biodiesel sampai 10% bagi sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik. Dengan harapan akan menekan impor BBM jenis solar dan membantu penyelamatan ekonomi negara.
Bagaimana tanggapan Bapak selaku pengurus APROBI?
Dari kami sebagai produsen biofuel siap untuk memenuhi kebutuhan pemerintah dalam melaksanakan program ini.Teorinya, apabila biodiesel menggantikan 10 % pemakaian solar akan dibutuhkan antara 3,2 juta sampai 3,3 juta kiloliter. Kapasitas produksi anggota kami sudah mencapai lebih dari 4 juta kiloliter bahkan hampir 5 juta kiloliter.
Menurut Bapak, apakah konversi dari impor solar ke biodiesel mampu mencapai target 10%?
Jadi begini, solar yang bersubsidi ini telah dijual ke SPBU Pertamina mulai September ini dapat dikatakan sudah masuk mandatori 10%. Walaupun yang baru berjalan di SPBU daerah sekitar Sumatera dan Jawa, sedangkan Kalimantan dan Sulawesi baru sebagian. Pertamina yang paling besar memegang subidi yang nanti akan diperluas ke pulau-pulau lain dengan proses bertahap. Sebab, harus dipersiapkan juga aspek teknis, angkutan, dan infrastruktur.
Dukungan pemerintah cukup bagus lewat sosialisasi kepada pelaku industri dan sektor transportasi lain. Kementerian Perindustrian pada September ini berkoordinasi dengan industri untuk pemakaian biofuel. Di sektor migas untuk transportasi non subsidi, kementeriannya bertemu dengan pemegang ijin niaga bahan bakar minyak untuk berkoordinasi.
Di sektor tenaga pembangkit listrik, PLN sudah berkomitmen dalam penggunaan mesin dieselnya dengan Pure Plant Oil (PPO) – subtitusi BBM untuk pembangkit listrik berbasis bahan bakar minyak – sehingga dapat menekan pemakaian solar. Walaupun tergantung mesinnya karena volume pencampurannya itu berbeda-beda di setiap tempat.
Boleh dikatakan paket kebijakan penyelamatan ekonomi negara ini dapat menjadi momentum kebangkitan industri biofuel dalam negeri ?
Biodiesel sudah mulai diproduksi semenjak 2005, nah tahun ini dapat menjadi momentum lain yang ikut mendorong penggunaan biodiesel untuk domestik. Pemerintah sendiri memang sudah memiliki program dan sudah mendorong itu, hingga tahun kemarin juga sudah memproduksi sampai 2 juta ton biodiesel. Konsumsi dalam negeri yang digunakan sekitar 700 ribu ton sisanya diekspor.
Kebijakan hilirisasi sawit ini sudah mulai berjalan dimana kebutuhan domestik biofuel terjadi kenaikan meskipun tidak terlalu signifikan. Sekarang ini, krisis ekonomi dapat menjadi momentum untuk pemakaian energi baru terbarukan dan harapannya energi ini cepat berkembang, bukan hanya biodiesel. Namun, energi terbarukan lain seperti methane capture, biomass, bioetanol, dan energi dari sampah kota.
Jangan sampai bahan baku energi terbarukan seperti tandan kosong diekspor langsung tanpa diolah dulu. Padahal, tandan kosong sudah terbukti dapat dijadikan bahan baku boiler untuk listrik. Kami harapkan pemerintah dapat mendorong pemakaian biomassa untuk kepentingan energi dalam negeri. Langkah ini lebih baik daripada ekspor sebab yang menikmati bukan masyarakat kita.
Indonesia mempunyai biofuel yang belum optimal digunakan. Sayangnya, impor migas ini belum ada rencana jangka panjang untuk dikurangi. Sebenarnya, sejauh mana kemampuan kita dalam pemanfaatan energi terbarukan ?
Semakin maju negara akan berbanding lurus dengan kebutuhan energi, artinya konsumsi energi kian meningkat. Di Indonesia, rata-rata konsumsi BBM pen duduknya sebanyak 0,8 liter per orang per hari, Malaysia sudah 3,2 liter per orang per hari, Thailand 2,4 liter per orang per hari. Bayangkan produksi otomotif tiap tahun berapa di Indonesia, belum lagi dari segi pabrik, pembangkit listrik. Boleh dikatakan, Indonesia ini akan tetap impor minyak tiap tahun, tetapi apabila mampu biofuel berkontribusi sekian persen akan lebih baik dibandingkan impor total.
Sebagai gambaran, Amerika Serikat impor minyak sebesar 9 juta barel dan produksi nya sekitar 11 juta sehingga total konsumsi 20 juta barel. Bagusnya pemerintah Obama ini berani menjamin bahwa dalam 20 tahun ke depan dapat mengurangi impor sebesar 15 %, lalu 30 tahun mendatang sudah dapat berhenti impor.
Saya berkeinginan Indonesia meniru langkah yang diambil Amerika Serikat. Jangan cuma menghitung kebutuhannya berapa dan yang harus diimpor berapa tapi tidak punya tujuan akhir. Misalnya Indonesia berani menyatakan 30 tahun lagi mengurangi impor sekian persen, lalu dalam rentang waktu 30 tahun tersebut perlu diwujudkan dengan benar. Misalnya tahun depan mobil Indonesia harus siap menggunakan bahan bakar biofuel sampai 50% sehingga kita tidak terlalu bergantung.
Masalah minyak dan gas ini punya peranan vital bagi bangsa ini. Apakah pernah terpikirkan seandainya terjadi perang di Timur Tengah, bencana alam, terorisme, dan konflik politik lain yang dapat mengganggu pengiriman BBM. Perlu dipikirkan ketika satu waktu ada uang tetapi kita tidak bisa beli minyak.
Artinya, biofuel ini berpotensi untuk menjaga ketahanan negara?
Iya, masalah ketahanan nasional itu bukan berarti perang, melainkan ekonomi dan sosial. Secara garis besar, energi ini penting untuk menjaga keamanan setiap-tiap negara, dan posisi biofuel itu yang mampu diharapkan sebagai subtitusi dari energi konvensional. Harus diingat setiap negara itu harus melindungi sumber dan kebutuhan energinya masing-masing.
Kalau menyangkut keamanan negara, idealnya pemerintah mulai prioritaskan pemakaian biofuel. Jika mandatori diterapkan, dibutuhkan ketegasan pemerintah ?
Energi itu merupakan keamanan bagi tiap negara sama seperti pangan. Di dunia ini, tidak ada satu pun negara yang tidak mengatur kebutuhan energinya jadi energi itu diatur secara ketat. Makanya untuk biofuel ini bisa berkembang tentunya pemerintah yang harus mendorong lewat berbagai cara. Peranan pemerintah memiliki peranan penting dalam membuat kebijakan, swasta hanya mengikuti saja.
Market biofuel itu juga diciptakan oleh pemerintah untuk bahan bakar, meskipun harga biodiesel ini murah tapi banyak juga pabrik mobil yang belum adaptasi teknologinya. Kalau berani, pemerintah wajibkan semua pabrikan mobil,mesinnya harus bisa pakai biodiesel. Jika menolak, jangan buka perusahaan di Indonesia.
Dengan kebijakan mandatori biofuel oleh pemerintah Indonesia, apakah dapat mempengaruhi pasar biodiesel di luar negeri?
Kalau dari segi volume tidak perlu khawatir, misal ada kebutuhan luar negeri perusahaan besar juga harus produksi dengan kesiapan mesin juga. Hanya saja dengan kebijakan baru ini artinya semua pabrik biodiesel ini telah berkomitmen untuk menjamin kebutuhan dalam negeri, itu yang penting. Misalnya mesin belum siap ternyata kebutuhan dalam negeri sangat besar terpaksa perusahaan harus mau mengurangi ekspor. Namun, perusahaan sepertinya akan meningkatkan produksi lewat penambahan mesin ini berarti terjadi tambahan investasi. Setiap perusahaan pasti punya strateginya sendiri untukmeningkatkan produksi.
Pelaku industri hulu sawit berkeinginan Bea Keluar CPO direvisi supaya meningkatkan perdagangan ekspor dan membantu defisit neraca perdagangan. Tanggapan Bapak apakah perlu BK CPO direvisi sekarang ini?
Saya setuju saja bea keluar itu direviu besaran tarifnya kendati keputusan revisi belum tentu dijalankan. Misalkan, reviu ini dilihat dari tujuan pemberlakuan bea ekspor CPO untuk mendorong industri hilir dan menjamin ketersediaan minyak goreng dalam negeri, apakah sudah tercapai tujuan ini?
Dalam pandangan saya, seandainya pun bea keluar CPO jadi direvisi sejauh mana pengaruhnya kepada peningkatan ekspor. Karena, beberapa negara pembeli CPO masih lesu permintaannya.
Upaya apa yang dapat dilakukan pemerintah untuk mendorong ekspor biodiesel?
Kampanye, namanya jualan harus memiliki strategi marketing yang baik. Pemerintah juga harus bantu untuk marketing ini. Pasar terbesar itu ada di Eropa. Makanya pemerintah bersama swasta juga harus berusaha agar tidak terkena dumping seperti banyak dilakukan negara di Eropa, tuduhan-tuduhan itu harus dilawan. Dari 11 juta ton kebutuhan biodiesel di Eropa, Indonesia mampu mengisi 1,5 juta ton per tahun.
Di luar Eropa, apakah ekspor biodiesel mempunyai pasar alternatif lainnya?
Ada sebenarnya potensial itu negara-negara Eropa Timur misalnya Serbia, Ukraina. Tapi harus diingat juga Eropa timur itu produsen minyak terbesar.
Sebenarnya, Amerika Serikat adalah pasar besar biodiesel. Sayang, ada masalah EPA itu yang saya bilang harus mati-matian harus bertarung supay dapat mendorong ekspor. Karena menurut saya hambatan perdagangan itu tujuan utama melindungi produk dalam negeri mereka dan ini adalah keputusan-keputusan politik. Nah, karena mereka memakai pendekatan politik sudah sepantasnya pemerintah Indonesia yang bernegosiasi .
Harapan Bapak dengan kebijakan mandatori biofuel ini?
Harapan kita pemerintah harus bisa konsisten menjaganya. Bukan hanya reaksi dari krisis yang terjadi sekarang ini. Karena kita harus melihat jangka panjangnya, Indonesia ini akan terus impor yang semakin besar. Oleh karena itu, ketimbang impor bahan bakar minyak yang demikian besar jumlahnya lebih baik pakai produk Indonesia untuk lingkungan yang lebih baik juga.
Dalam satu hari, impor BBM Indonesia ini mencapai 400 ribu barel. Jumlah ini kalau dikali dengan harga minyak bumi sekarang , sudah berapa? Lebih baik devisa yang sekarang dipakai beli BBM impor digunakan untuk industri biofuel kita, karena uangnya kembali ke dalam negeri. Jadi masalah ini dari berbagai segi harus diperhitungkan, kita tidak hanya bisa melihat harga yang murah dan mahal karena untuk ekspor minyak uangnya itu kan hilang begitu saja, karena beli pakai dollar. (Anggar Septiadi/Qayuum)