Pemerintah mencabut kebijakan Domestic Market Obligation dan Domestic Price Obligation (DPO). Kebijakan ini dinilai tidak efektif bahkan berdampak negatif terhadap pasar. Pungutan ekspor menjadi pilihan.
Muhammad Lutfi, Menteri Perdagangan RI, menghela nafas saat menyampaikan informasi pencabutan kebijakan DMO sebesar 30% di depan Komisi VI DPR RI, pada 17 Maret 2022. Pada hal kebijakan ini baru diumumkan seminggu sebelumnya.
“DMO telah dicabut. Selanjutnya untuk memastikan bahan baku tidak keluar. Pungutan ekspor akan ditingkatkan,”ujar Lutfi dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI terkait Pembahasan Mengenai Harga Komoditas dan Kesiapan Kementerian Perdagangan dalam Stabilisasi Harga dan Pasokan Barang Kebutuhan Pokok Menjelang Puasa dan Lebaran.
Dalam presentasinya, Lutfi menjelaskan kebijakan DMO 20% yang berjalan dari 14 Februari sampai 16 Maret 2022 telah mengumpulkan 720.612 ton. Terdiri dari 575.661 ton RBD Olein dan 144.951 ton CPO. Selanjutnya, jumlah minyak goreng yang terdistribusikan mencapai 551.069 ton atau sekitar 551 juta liter.
“Dari data BPS, masyarakat konsumsi satu liter minyak goreng per bulan. Artinya 570 juta liter setara dua liter untuk seluruh orang Indonesia. Kebutuhan per bulan 327 ribu ton. Secara teoritis sudah berjalan,” ujarnya.
Lutfi menyebutkan perbedaan antara harga CPO Malaysia dan Indonesia karena terdapat pungutan ekspor sebesar US$175 per ton dan US$200 per ton untuk bea keluar. Total harga CPO yang terdiskon mencapai US$375 per ton.
“Kebijakan DMO ini sukses menurunkan harga minyak goreng curah dan kemasan. Harga minyak goreng kemasan turun 18,9 persen dan harga minyak curah turun 10,1%,” urai Lutfi.
Ia mengatakan saat ada perbedaan harga yang tinggi sekali. Disinilah ada kemungkinan terjadi. Pertama, minyak goreng untuk konsumsi masyarakat lalu masuk keindustri. Jumlahnya setahun sekitar 1,8 juta ton atau setara 350 ribu ton per bulan. Aspek kedua, terjadi minyak goreng yang diselundupkan keluar negeri.
Delapan hari sebelum Raker dengan Komisi VI DPR, Kemendag yang dinakhodai Lutfi memilih untuk meninggikan DMO. “DMO ini akan dinaikkan dari 20 persen hari ini menjadi 30 persen mulai Kamis pagi untuk memastikan adanya stok yang cukup untuk kebutuhan dalam negeri,” urai Lutfi pada 9 Maret 2022.
Walaupun, stok bahan baku minyak goreng melimpah selama 20%. Tetapi, hilangnya minyak goreng di pasar dan ritel modern. Membuat Mendag gelisah. Kala itu, Lutfi optimis aturan DMO juga memperkuat posisi Indonesia terhadap kenaikan harga komoditas sawit di dunia. Berdasarkan pengalaman dari pada DMO CPO selama beberapa pekan terakhir, dia mengklaim Indonesia bisa mengatur pasar dunia.
“Ketika saya umumkan DMO naik lagi menjadi 30 persen, akibatnya harga CPO di-suspend dua kali di stock exchange,” ungkap Lutfi yang optimis kala itu.
Di sisilain, pelaku industri sawit terutama produk hilir non minyak goreng ikut gelisah. Pasalnya, Kemendag menerbitkan Permentan Nomor 08/2022 yang memperluas kewajiban DMO bagi produk turunan sawit lainnya seperti oleokimia dan biodiesel. Akibatnya, pelaku industri ini kalangkabut untuk mencari CPO dan minyak goreng sebagai syarat DMO.
Tanpa memenuhi syarat DMO, pelaku industri produk turunan sawit berpotensi kehilangan pasar ekspor. Sebagai contoh, PT Sumi Asih, perusahaan oleo kimia yang menghentikan produksinya karena tidak mampu memenuhi kewajiban memasok minyak goreng sebanyak 20% dari produk yang akan diekspornya.
Dalam siaran persnya, Direktur HRD and Legal PT Sumi Asih Markus Susanto menuturkan pabriknya tidak menggunakan CPO sebagai bahan baku produksi, tetapi menggunakan RBD stearin untuk kemudian diolah menjadi stearic acid dan glycerine. RBD stearin merupakan by product atau produk samping pabrik minyak goreng.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 125)