Minyak Sawit Sumber Pemenuhan Gizi
Fortifikasi pangan itu bisa dilakukan pada minyak goreng kelapa sawit. Pasalnya ini bisa dijadikan salah satu cara untuk pemenuhan gizi masyarakat.
Dhian Dipo Direktur Gizi Masyarakat Ditjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan mengungkapkan, permasalahan gizi di Indonesia adalah kekurangan gizi mikro, gizi makro dan kegemukan (over weight). Kekurangan gizi mikro salah satunya kurang vitamin A sekitar 14,6 persen berdasarkan data tahun 2011.
Permasalahan kurangnya vitamin A mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh terutama pada balita. “Sehingga anak mudah sakit, akan asupan makanan tidak seimbang tidak bisa makan dengan baik imbasnya anak menjadi stunting atau pendek,” jelas dia dalam Dialog Webinar Majalah Sawit Indonesia bertemakan“Kontribusi Sawit Bagi Pemenuhan Gizi Indonesia dan Dunia” pada 23 Februari 2021.
Kemudian pertumbuhan otak pada usia anak dua tahun akan berpengaruh, sehingga stunting tidak melulu pendek. “Akan tetapi ada permasalahan kognitif dan jika tidak ada perbaikan gizi dengan baik, maka generasi 20 tahun mendatang hanya menjadi generasi pembungkus atau tidak menjadi pemimpin,” ujar dia.
Pola konsumsi masyarakat merupakan resiko utama berkontribusi terhadap angka kematian dan kesakitan di Indonesia. “Ini dapat menyebabkan penyakit tidak menular (PTM) yang sebelumnya diderita oleh manula, namun sekarang dialami anak muda, seperti terserang penyakit stroke atau darah tinggi hipertensi,” kata Dhian.
Penyakit itu disebabkan oleh pola makan masyarakat yang tidak tepat berupa serelia. Namun konsumsi protein hewani, sayuran dan buah-buahan masih rendah. “Artinya pola konsumsi yang tidak seimbang ini mengakibatkan tidak memenuhi zat gizi pada tubuh terutama pada masa pertumbuhan balita hingga remaja. Sehingga ini menjadi fokus kita dalam penanganan gizi,” terang dia.
Adapun target penurunan stunting tertuang dalam Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting yang menetapkan lima pilar. Pertama komitmen dan visi kepemimpinan. Kedua, kampanye nasional dan perubahan perilaku. Ketiga, konvergensi program pusat, daerah dan desa. Keempat, ketahanan pangan dan gizi. Kelima, pemantauan dan evaluasi.
Kemudian ditetapkan intervensi spesifik di bidang kesehatan maupun intervensi sensitif yang dilakukan di luar bidang kesehatan. Intervensi spesifik diantaranya: tablet tambah darah, promosi dan konseling menyusui, suplemen gizi makro, suplemen vitamin A, pemeriksaan kehamilan dan imunisasi.
Sementara itu, intervensi sensitif yakni air bersih dan sanitasi, bantuan pangan non tunai, Jaminan kesehatan nasional, pendidikan usia dini, Program Keluarga Harapan (PKH), Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) dan fortifikasi pangan.
Menurut dia, fortifikasi pangan dilakukan di luar kesehatan, namun intervensi spesifik maupun intervensi sensitif harus sejalan dan komprehensif dikerjakan. “Sehingga apa pun informasinya diperoleh dari intervensi spesifik dan outputnya peningkatan konsumsi gizi, pola asuh dan pelayanan kesehatan yang baik serta kesehatan lingkungan,” ungkap dia.
Dia menyebutkan, pemerintah menargetkan pada 2024 dapat menurunkan stunting hingga 14 persen. Sedangkan tahun 2019, target baru tercapai 27,7 persen.
“Tahun 2020 kita terserang pandemi, maka perlu dilakukan modifikasi karena terjadi kendala pada pemenuhan gizi di tingkat keluarga. Kita perlu pikirkan fortifikasi itu menjadi penting,” kata dia.
Setiap tahun kabupaten perlu diintervensi secara bersama-sama. Pada tahun 2021 sebanyak 360 kabupaten kota, tahun 2022 sekitar 460 kota, 2023 sekitar 514 kota dan tahun 2024 mencapai 514 kota.
Dalam RPJMN 2020-2024 di bidang kesehatan adalah percepatan perbaikan gizi masyarakat dengan fokus penurunan stunting dan angka kematian ibu. Ada empat kegiatan diantaranya: pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang, perbaikan perilaku sadar gizi, peningkatan akses dan mutu pelayan gizi serta peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
Dhian mengungkapkan, apa bila tidak memenuhi gizi seimbang sesuai kebutuhan anak, maka 1.000 hari pertama kehidupan akan terjadi gagal tumbuh yakni berat lahir rendah, pendek dan kurus. “Usia anak dua tahun tidak hanya terjadi gagal tumbuh juga hambatan perkembangan kognitif dan motorik. Kemudian setelah dewasa terkena resiko penyakit tidak menular diabetes, stroke, obesitas dan penyakit jantung,” terang dia.
Untuk itu, perlu melakukan perbaikan dengan cara pendidikan gizi dan penganekaragaman pangan. “Kemudian fortifikasi pangan dan suplementasi, seperti tablet tambah darah unuk ibu hamil,” ujar dia.
Fortifikasi
Penguatan intervensi spesifik guna mempercepat penurunan stunting. Strateginya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, peningkatan kualitas program, penguatan edukasi gizi dan penguatan manajemen intervensi gizi di Puskesmas dan Posyandu.
“Pada tingkat global dalam mengatasi masalah gizi harus dilakukan fortifikasi. Fortifikasi pada garam, dilakukan iodisasi garam dan ini sudah dilakukan pada 160 negara untuk meningkatkan kognitif dan 74 persen mengurangi gangguan kekurangan yodium,” jelas Dhian.
Selain itu, fortifikasi asam folat dan fortifikasi besi untuk mengatasi masalah anemia dan cacat bawaan lahir. Kemudian fortifikasi Vitamin A guna meningkatkan imunitas tubuh pada balita dan fortifikasi Zinc bertujuan mencegah balita stunting serta menurunkan angka kematian anak.
Di Indonesia fortifikasi dilakukan di garam dengan iodium (KIO3 30 ppm), fortifikasi tepung terigu (Fe, Zn, Asam Folat, Vitamin B1 dan B2, fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A, beras dengan Vitamin B1 dan B2.
Ada juga suplementasi gizi mikro untuk remaja, balita dan ibu hamil. Balita diberikan taburia berisi 12 vitamin dan 4 mineral, kapsul Vitamin A dan tablet tambah darah berisi zat Fe dan asam folat.
Sedangkan konsumsi minyak dan olahannya seperti minyak goreng kelapa sawit dan minyak kelapa 19,7 gram per hari. Sementara kelapa dan olahannya 17,3 gram per hari dan minyak lain 0,4 gram per hari.
Adapun konsumsi kalori dari minyak kelapa sawit dan kelapa menyumbang sekitar 12,4 persen. Sementara itu, rata-rata konsumsi kalori per kapita sehari dari minyak dan kelapa sebesar 262,27 kalori.
“Jadi cukup besar kalori minyak ini menjadi kendaraan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi jika memang difortifikasi,” ujar dia.
Aturan yang mendukung fortifikasi meliputi Undang-Undang (UU) No. 356 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi peroragan dan masyarakat.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 113)