Seperti yang telah diketahui bahwa sistem penanaman kelapa sawit yang monokultur dalam skala yang sangat luas mempunyai resiko terjadinya ledakan hama atau penyakit. Sehingga tidak heran sampai saat ini, hama dan penyakit menjadi salah satu hambatan utama budidaya kelapa sawit.
Kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh hama dan penyakit ini sudah sangat signifikan. Kerugian langsung jelas berkaitan dengan turunnya produktivitas. Kerugian tidak langsung adalah meningkatnya biaya produksi kebun yang berupa penggunaan alat pengendali semisal pestisida maupun tenaga yang digunakan.
Selain sistem penanaman, ledakan hama atau epidemi penyakit sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Kelembapan relatif maupun suhu baik secara langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan hama atau penyakit. Selama ini banyak dipahami bahwa suhu yang relatif tinggi di musim kemarau akan menjadi pemicu adanya serangan hama ulat api. Pada lahan gambut pada musim kemarau akan terjadi peningkatan serangan rayap dan tikus karena hama ini mencari sumber air bagi kelangsungan hidupnya. Pengetahuan mitos ini sering disalah-artikan yang menganggap nanti pada musim penghujan serangan hama ulat api akan turun dengan sendirinya. Padahal memang di alam fase tersebut sudah menjadi fase inaktif dan pada 3 bulan kemudian baru menyerang lagi sesuai dengan fasenya. Dengan tersedianya sumber pakan atau inang yang terus-menerus yaitu tanaman kelapa sawit, pada saat ini keberadaan hama tidak dipengaruhi lagi adanya musim kemarau ataupun musim penghujan.
Pada saat ini hama ulat api, ulat kantung, dan ulat bulu menyerang kelapa sawit tanpa memandang musim. Demikian juga untuk hama Oryctes rhinoceros pada saat ini menjadi hama utama kelapa sawit yang dahulu terkenal hanya menyerang daerah replanting dan pada musim penghujan, akan tetapi pada saat ini menyerang kelapa sawit muda ataupun tua kapan saja. Yang agak konsisten adalah penyakit bercak daun kelapa sawit yang menyerang pembibitan kelapa sawit dengan kelembapan tinggi pada musim penghujan. Penyakit Ganoderma lebih mengerikan lagi yang nampaknya tidak terpengaruh musim karena bersifat tular tanah dan saat ini menjadi penyakit endemik di perkebunan kelapa sawit.
Selain iklim mikro pada saat ini yang lebih berpengaruh pada hama atau penyakit adalah pemanasan global. Pada bidang hama dan penyakit, perubahan yang paling nyata adalah peralihan status hama. Banyak hama yang dulu dianggap minor, saat ini menjadi hama mayor. Salah satu perubahan iklim adalah kenaikan suhu yang dapat mengakibatkan beberapa spesies hama mengalami pemendekan siklus hidup, meningkatkan fekunditas, penyebaran hama yang lebih luas, dan menekan perkembangan musuh alami. Pada beberapa dekade lalu, hama ulat bulu tidak menjadi permasalahan yang berarti di perkebunan kelapa sawit tetapi kini pada daerah-daerah tertentu sering terjadi outbreak di Indonesia. Pada tahun 2005, terjadi ledakan hama ulat bulu Pseudoresia desmierdechenoni pada perkebunan kelapa sawit di Labuhan Batu Sumatera Utara. Pada kebun tersebut, hama yang sering menyerang sebelumnya adalah hama ulat api dengan kerugian cukup besar.
Perubahan iklim juga mempengaruhi pengembangan kebun kelapa sawit. Hingga saat ini tercatat sejumlah kebun kelapa sawit berada di dataran tinggi (> 600 mdpl). Kebun kelapa sawit di dataran tinggi ini umumnya lebih berat terserang oleh Marasmius palmivorus, penyebab penyakit busuk tandan sawit. Serangan hingga mencapai 34% pada tanaman tua dilaporkan di kebun Bah Birong Ulu, Sumatera Utara pada ketinggian sekitar 800 mdpl.
Selain pada hama dan penyakit, dampak perubahan iklim juga terlihat pada perilaku serangga penyerbuk kelapa sawit Elaeidobius kamerunicus, terutama terjadi pada perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Penurunan perilaku serangga ini ditandai dengan rendahnya fruit set kelapa sawit. Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan beberapa usaha. Pertama, introduksi E. kamerunicus dari daerah Sumatera Utara atau introduksi spesies baru E. subvittatus dari daerah Afrika. Kedua, aplikasi penangkaran E. kamerunicus dengan teknik hatch & carry untuk mengoptimalkan peran serangga tersebut.
Istilah mewaspadai hama dan penyakit pada judul di atas dalam konteks pengendalian hama adalah melakukan monitoring atau sensus secara terus menerus atau menerapkan sistem peringatan dini (early warning system = EWS). Sensus hama merupakan salah satu kunci sukses pengendalian hama dengan sistem pengendalian hama terpadu (PHT). Sensus hama biasanya diawali dengan sensus global yaitu dengan melakukan pengamatan hama atau penyakit dengan sampel 1 tanaman per ha. Apabila populasi hama sudah di atas ambang ekonomi maka dilanjutkan pengamatan sensus efektif yaitu pengamatan populasi hama pada 5 sampel tanaman per ha. Apabila populasi hama sudah di atas ambang ekonomi baru diadakan tindakan pengendalian. Demikianlah siklus monitoring selalu diadakan secara kontinyu untuk mewaspadai hama tersebut.
Pengendalian hayati merupakan tindakan pengendalian yang diutamakan dalam PHT dan Pengendalian hayati berbagai hama dan penyakit kelapa sawit sampai saat ini memberikan hasil yang berkelanjutan. Beberapa contoh agens hayati yang telah dikembangkan oleh PPKS dan telah berhasil diimplementasikan dalam rangka PHT tertera pada Tabel 1.
Oleh : Dr. Agus Susanto *
*Ketua Kelompok Peneliti Proteksi Tanaman, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Jl. Brigjen Katamso 51 Medan, Indonesia HP: 0812 64 66550, Email: marihat_agus@yahoo.com