Pernyataan ini membuat saya harus berpikir keras. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Pertama, jumlah yang dapat disedot tanpa menimbulkan gangguan terhadap pasar dalam negeri dan pasar yang sudah mapan seperti Eropa, India, RRC, Pakistan dan negara lainnya. Kebanyakan pengusaha atau eksportir sudah melakukan penjualan untuk beberapa waktu ke depan (forward sales) sehingga tidak mungkin tiba-tiba diambil untuk kepentingan ini. Kalaupun boleh, diminta adalah sisa kontrak dan jumlahnya kurang dari separuh produksi.
Kedua bagaimana cara imbal dagang yang bisa diterima pengusaha sawit. Kalau diminta menyerahkan CPO, biasanya mereka minta pembayaran langsung. Hampir tidak mungkin pembayaran tunda. Biasanya CPO dibayar langsung setelah penyerahan barang, malahan sering dibayar dimuka sebelum penyerahan barang dimulai. Cek atau giro biasanya diselengarakan pada saat penandatangan kontrak, sedangkan penyerahan baru dilakukan beberapa hari kemudian. Praktik ini sering terjadi hambatan bagi calon pembeli baru yang mengharapkan pembayaran boleh dilakukan setelah penyerahan barang. Waktu itu saya berpikir bagaimana saya merancang supaya Pemerintah Indonesia bisa mendapatkan CPO untuk diserahkan ke pihak Rusia. Saya melihat Buloglah yang bisa mengambil peran penting.
Kemudian waktu itu hal yang penting yang harus dilakukan adalah menjaga agar proyek ini tranparan bagi semua pihak, terutama untuk anggota Gapki. Transparasi dibutuhkan agar peluang dagang ini tidak dimanfaatkan oleh segelintir pengusaha saja. Hal ini dapat saya umumkan melalui gapki sekaligus memperjelas bahwa peranan Gapki hanya fasilisator bagi anggota, tetapi bukan pelaku bisnis. Saya tahu, ada sebagian pengusaha dan anggota masyarakat yang mengangap Gapki ikut melakukan transaksi dagang atau menentukan jatah penjualan. Dari semula Gapki tidak dimaksudkan melakukan hal-hal seperti itu.
Sumber : Derom Bangun