Kegiatan pengembangbiakan kumbang wawung atau dikenal juga kumbang tanduk di perkebunan sawit, termasuk tindakan ilegal. Kalangan petani mengecam aksi sejumlah kelompok masyarakat yang membudidayakan kumbang tanduk. Peneliti yang tergabung di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) sudah lama menemukan teknik pengendalian hama kumbang.
Asmar Arsjad, Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), merasa geram dengan tindakan sejumlah yang mengatasnamakan Kelompok Pemuda Menolak Sawit Ilegal (KPMSI). Pasalnya, kelompok ini mengembangbiakkan wawung – lebih dikenal sebagai kumbang hama kelapa – untuk mematikan tanaman sawit yang berada di lahan ilegal.
“Mereka lakukan itu motifnya untuk apa. Ini jelas merugikan petani kalau sampai terserang kumbang tanduk. Tindakan ini mereka ini juga ilegal,” ujar Asmar dalam sambungan telepon kepada SAWIT INDONESIA.
Menurut Asmar, kalau kumbang tanduk diperbanyak jumlahnya akan berdampak buruk kepada produksi petani sawit. Sebab, kumbang tanduk ini menyerang bagian atas tanaman sawit. Pengendalian kumbang tanduk dilakukan petani dengan cara menggunakan perangkap. Namun kalau jumlah kumbang tanduk bertambah banyak akan mempersulit tindakan pengendalian.
“Kalau benar jumlah kumbang tanduk ini diperbanyak, maka kami (APKASINDO) akan melaporkannya kepada polisi. Cara yang mereka lakukan tidak betul,” tegas Asmar.
Seperti apa bahaya serangan kumbang tanduk? Agus Susanto, Peneliti Senior Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), menjelaskan bahwa hama kumbang kelapa/wawong yang menyerang kelapa sawit terbagi dua 2 jenis. Pertama, sering dijumpai di perkebunan kelapa sawit adalah oryctes rhinoceros (kumbang tanduk). Kedua, kumbang xylotrupes gideon yang juga menyerang kelapa sawit, namun dijumpai di beberapa daerah saja seperti Jawa Barat.
Lebih lanjut, kata Agus, kumbang Oryctes rhinoceros berwarna cokelat gelap sampai hitam mengkilap dan dicirikan dengan adanya tanduk pada bagian kepala, panjang badan mencapai 35-50 mm dan lebar 20-23 mm. Perbedaan antara kumbang jantan dan betina tidak bisa dilihat dari ukuran panjang tanduk, namun dicirikan dengan ada rambut-rambut halus pada bagian ujung abdomen (perut) yang hanya dimiliki oleh kumbang betina, sedangkan jantan tidak ada. Selain itu umur kumbang betina lebih panjang dari kumbang jantan. Kumbang memiliki masa hidup sekitar 6-9 bulan.
Kumbang berkembang-biak pada saat kumbang matang secara seksual. Kumbang betina meletakkan telur pada bahan-bahan organik seperti tumpukan tandan kosong, batang kelapa sawit yang telah melapuk pada rumpukan, sisa chipping, dan batang tanaman yang telah diracun atau terserang Ganoderma. Selain itu, penanaman mucuna juga dapat mempercepat terjadinya pelapukan bahan organik yang mendukung proses perkembangan larva Oryctes.
“Kumbang Oryctes aktif pada malam hari dan mampu terbang hingga 400 meter. Ketika hujan turun Oryctes jarang aktif terbang,” ujarnya.
Menurut Agus Susanto, kumbang menyerang pada bagian daun, pada saat daun masih membentuk daun tombak. Ini sebabnya pada saat daun membuka, daun akan membentuk huruf V-terbalik. Selain itu, Oryctes juga menyerang umbut atau titik tumbuh, yang dapat mematikan tanaman. Dalam beberapa kasus, tanaman yang selamat, akan mengalami perpindahan titik tumbuh dan pertumbuhan daunnya akan berputar, sehingga perlu disisip. Untuk tanaman yang selamat akan mengalami masa stagnasi selama beberapa bulan.
Ahmad Perdana Rozziansha, Peneliti Bidang Hama Penyakit PPKS, mengungkapkan serangan yang berulang ulang mengakibatkan tanaman mati. Untuk skala tanaman ringan, bisa menunda proses Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) untuk menjadi Tanaman Menghasilkan (TM). “Serangan juga dapat terjadi pada tanaman TM yang tentunya akan mengakibatkan turunnya produksi atau bahkan kematian tanaman,” kata Ahmad Perdana.
(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Januari 2016-15 Februari 2016)
Sumber foto: istimewa