JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Uni Eropa tetap membutuhkan kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Itu sebabnya, Uni Eropa tetap membuka keran impor sawit dari Indonesia.
“Uni Eropa tidak pernah menutup pintu ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia,” ujar Dubes Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket dalam pertemuan antara Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, Rabu pekan lalu.
Ia mengatakan hampir 20% impor minyak kelapa sawit Uni Eropa masih bergantung pada Indonesia. Uni Eropa juga masih akan berkomitmen untuk memberlakukan tarif rendah bagi Indonesia terkait ekspor impor CPO.
“Uni Eropa sedang melakukan riset kembali tentang minyak kelapa sawit, kedelai, biji canola, gula dan lain sebagainya. Kita sedang menunggu hasilnya. Kalau diperlukan agar kebijakannya dirubah, kami akan mengubahnya,” kata Vincent.
Nilai ekspor sawit dari Indonesia ke Uni Eropa sepanjang Januari sampai Mei 2021 tumbuh 20,85% menjadi US$1,69 miliar, dibandingkan periode sama 2020 sebesar US$1,4 miliar. Data nilai ekspor sawit ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik yang diolah Kementerian Perdagangan RI.
Sementara itu, ekspor sawit dan produk turunannya tetap tinggi ke Uni Eropa mencapai US$ 3,1 miliar pada 2020. Nilai ini lebih tinggi dari tahun 2019 sebesar US$ 3 miliar.
Kasan Muhri, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan menjelaskan di pasar Eropa hambatan utama perdagangan sawit dari kebijakan non tarif terutama di Uni Eropa. Maraknya kampanye negative ditujukan menekan daya saing sawit. Lantaran, tingginya produktivitas minyak sawit menjadi ancaman bagi minyak nabati yang dihasilkan negara-negara di Uni Eropa.
Sebagai informasi, pada bulan Maret 2019 lalu, Komisi UE telah meloloskan aturan pelaksanaan (delegated act) atas Renewable Energy Directive/RED II. Dalam dokumen tersebut, Komisi UE menyimpulkan kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global dan tidak mengkategorikan CPO sebagai bahan baku produksi biofuel.
Kebijakan ini juga mewajibkan negara-negara Uni Eropa untuk menggunakan RED II paling sedikit 32 persen dari total konsumsi energi negaranya dan bahkan berencana menghapus secara bertahap penggunaan kelapa sawit hingga 0% pada tahun 2030.
Kebijakan ini tentu akan mempengaruhi ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa. Padahal Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar dunia dan Uni Eropa merupakan salah satu negara tujuan ekspor utama Indonesia.