JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah diminta berhati-hati dalam membuat regulasi yang berkaitan penetapan kebijakan pemanfaatan lahan gambut.
“Dalam penetapan regulasi gambut, perlu dipisahkan antara lahan gambut yang baik dan terdegradasi. Hal itu, karena tidak semua lahan gambut berpotensi untuk kembali dikonservasi,” Guru Besar IPB Prof. DR Santun Sitorus, di Jakarta, Jumat, 20 Desember 2017.
Lahan-lahan gambut yang dimanfaatkan korporasi sebenarnya masuk kategori lahan terdegradasi. Pemerintah ketika itu menawarkan lahan-lahan rusak itu pada korporasi dengan pertimbangan mereka mempunyai dana besar untuk memanfaatkan lahan rusak tersebut melalui pengembangan riset dan pemanfaatan teknologi.
“Jadi tidak fair menyebutkan korporasi sebagai perusak lingkungan karena lahan yang dimanfaatkan merupakan lahan gambut terdegradasi yang izinnya diberikan pemerintah saat itu,” kata Santun.
Santun meminta pemerintah perlu berhati-hati dalam menjanjikan lahan pengganti. Pasalnya, luasan lahan saat ini sangat terbatas dan prioritasnya adalah untuk persawahan. Jangankan menjanjikan luasan lahan hingga ratusan ribu sebagai pengganti, luasan lahan 20,000 ha per tahun untuk pangan saja sulit didapat.
“Bahkan, sebenarnya mustahil ada lahan pengganti untuk masyarakat dan industri yang terkena aturan PP gambut. Kalaupun ada, luasannya terbatas serta statusnya tidak clear and clean, ini berpotensi menimbulkan masalah ke depan,” kata Santun.
Dia juga mengingatkan PP gambut harus dipertimbangkan kembali. Pasalnya, regulasi itu mempunyai dampak sangat besar terhadap tenaga kerja di industri sawit. Dampak ekstrem yakni sebanyak 590.000-740.000 petani akan kehilangan pekerjaan hingga tahun 2020. Selain itu, diperkirakan terjadi pengurangan lahan sawit hingga mencapai 2 juta hektar pada tahun yang sama.
Menurut dia, sebaiknya pemerintah tetap mengizinkan industri untuk melakukan aktivitas budaya dengan syarat mampu mengimplementasikan teknologi terbaru seperti tata kelola air yang mampu meminimalisasi emisi karbon dan mengantisipasi kebakaran lahan.
Sementara itu, tokoh lingkungan Prof. DR Emil Salim disela-sela seminar Refleksi akhir tahun bertema Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia, mengharapkan, penggunaan teknologi harus menjadi solusi untuk mencapai efisiensi pemanfaatan lahan agar tercapai keseimbangan ekologi dan ekonomi.
“Itu berarti pengembangan teknologi seperti tata kelola air di gambut serta penggunaan bibit unggul harus mampu menggantikan keterbatasan lahan untuk peningkatan produksi. Kita jangan lagi hanya mengandalkan otot untuk meningkatkan produksi melalui ekspansi lahan.” kata mantan Menteri Lingkungan Hidup di Jakarta, Kamis (21/12).