JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Indonesia sebagai produsen besar CPO akan membentuk harga referensi sendiri karena selama ini merujuk kepada Malaysia. Niatan ini disampaikan Zulkifli Hasan, Menteri Perdagangan dalam Pembukaan Rapat Kerja Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Kamis (19 Januari 2023).
“Kami targetkan Juni 2023 sudah ada harga referensi CPO. Indonesia bisa mengatur harga acuan CPO dunia. Dengan kewenangan yang dimiliki Bappebti nanti kita akan coba usahakan bertahap dari sawit,” urainya.
Menteri berharap bulan Juni sudah bisa terpampang di layar bahwa sudah ada patokan harga.”Kalau dulu pagi-pagi, kita dengar di radio ada harga kopi dunia, harga lada dunia,” jelasnya.
Plt Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko memaparkan, Bappebti merencanakan pembentukan harga acuan komoditas (price reference) sesuai dengan mandat UU 32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi pada 2023. Ini disebabkan Indonesia belum memiliki harga acuan komoditas tertentu padahal merupakan salah satu negara penghasil terbesar beberapa jenis komoditas.
Perdagangan di dalam bursa akan menghasilkan tata kelola perdagangan yang adil dan transparan. Dengan masuk ke dalam bursa, harga yang terbentuk juga tidak ditentukan semata antara pemilik komoditas dan buyer di luar negeri.
“CPO dan karet misalnya, Indonesia merupakan penghasil terbesar dunia namun masih mengambil harga acuan yang dihasilkan bursa di luar negeri, seperti Malaysia dan Rotterdam. Untuk dapat menjadi harga acuan, maka komoditas tersebut harus masuk ke dalam bursa. Negara akan diuntungkan dengan harga pasar yang wajar dan dapat memberikan keuntungan semua pihak mulai dari petani, pedagang, pengusaha, bahkan negara dari sisi penerimaan pajaknya,”papar Didid
Pada 2022 Bappebti telah melakukan pengawasan terhadap transaksi senilai lebih dari Rp22 ribu triliun. Transaksi tersebut terdiri dari transaksi perdagangan berjangka komoditas sebesar Rp22.181,75 triliun dan perdagangan aset kripto sebesar Rp296,66 triliun. Selain itu, Bappebti melakukan pengawasan terhadap perdagangan fisik emas digital senilai Rp1.976,88 miliar serta timah murni batangan senilai USD 2,36 miliar.
Selanjutnya, Bappebti juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan SRG dan pasar lelang komoditas. Sepanjang 2022 nilai transaksi SRG tercatat sebesar Rp 1,275 triliun dengan sekitar 20 jenis komoditas dan 165 gudang yang tersebar di 144 kabupaten di 29 provinsi. Terkait pasar lelang, nilai transaksi yang tercatat adalah sebesar Rp52,5 miliar.
Didid memaparkan, Bappebti merencanakan pembentukan harga acuan komoditas (price reference) sesuai dengan mandat UU 32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi pada 2023. Ini disebabkan Indonesia belum memiliki harga acuan komoditas tertentu padahal merupakan salah satu negara penghasil terbesar beberapa jenis komoditas. Perdagangan di dalam bursa akan menghasilkan tata kelola perdagangan yang adil dan transparan. Dengan masuk ke dalam bursa, harga yang terbentuk juga tidak ditentukan semata antara pemilik komoditas dan buyer di luar negeri.
“CPO dan karet misalnya, Indonesia merupakan penghasil terbesar dunia namun masih mengambil harga acuan yang dihasilkan bursa di luar negeri, seperti Malaysia dan Rotterdam. Untuk dapat menjadi harga acuan, maka komoditas tersebut harus masuk ke dalam bursa. Negara akan diuntungkan dengan harga pasar yang wajar dan dapat memberikan keuntungan semua pihak mulai dari petani, pedagang, pengusaha, bahkan negara dari sisi penerimaan pajaknya,”papar Didid.