Tantangan industri sawit semakin berat dalam beberapa tahun terakhir. Tiga dekade lalu persoalannya hanya sebatas agronomi dam iklim. Namun sekarang lebih kompleks mulai dari regulasi sampai kondisi geopolitik dunia. Stakeholder harus bergandengan tangan serta membangun kemitraan dengan berbagai pihak.
Semenjak 2003, Eddy Martono sudah aktif sebagai pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) di Kalimantan Tengah. Pengalaman berorganisasi mengasah analisis dan kemampuannya dalam membaca persoalan di industri sawit.
Pria kelahiran Yogyarta ini menjelaskan sejumlah tantangan yang dihadapi industri sawit di tahun-tahun mendatang. Karena itulah, GAPKI sebagai organisasi sawit tertua di Indonesia bersama pengurus dan anggota di dalamnya harus dapat melakukan antisipasi.
“Kelapa sawit telah menghasilkan devisa sampai US$39 miliar pada 2022, terus meningkat dari tahun ketahun. Kontribusi sebesar ini akan dibarengi dengan tantangan yang semakin besar pula. Contohnya saja, Eropa baru ini mengeluarkan undang-undang anti deforestasi yang membidik produk sawit,” ujar lulusan S-2 Universitas Indonesia Studi Manajemen ini.
Di dalam negeri, dikatakan Eddy, pelaku usaha membutuhkan kepastian hukum melalui konsistensi penerapan regulasi di semua bidang baik pertanahan, kehutanan, dan tata niaga ekspor. Selain itu, antar regulasi dibutuhkan sinkronisasi sehingga dapat mendorong industri sawit lebih baik.
“Harus diakui ada sejumlah regulasi yang justru menyulitkan pelaku sawit. Tentu saja, kami ingin duduk bersama dengan pembuat kebijakan untuk berdialog supaya investasi sawit tetap terlindungi,” urainya.
Di dalam negeri, menurut Eddy, produksi sawit stagnan dalam empat tahun terakhir. Begitu pula pertam bahan luas areal yang secara total hanya 600 ribu hektar dalam 5 tahun terakhir akibat moratorium perizinan berusaha untuk kelapa sawit, menyebabkan hilangnya harapan kenaikan produksi dari tanaman-tanaman baru.
“Harga yang sangat tinggi juga menyebabkan penundaan replanting oleh banyak pekebun sehingga porsi tanaman tua yang produktivitasnya rendah menjadi lebih banyak,” kata Eddy.
Menurutnya, produksi sawit nasional yang melambat juga dipengaruhi pelaksanaan PSR yang berjalan tidak sesuai rencana. Untuk itu, perlu dicari tahu kenapa PSR melambat dan butuh upaya perbaikan agar sesuai target 180 ribu hektare per tahun. Dalam upaya mencapai target perlu adanya simplifikasi aturan dan penyederhanaan syarat PSR.
Faktor berikutnya konflik Ukraina-Rusia yang berdampak kepada bahan baku pupuk. Akibatnya, harga pupuk melambung tinggi sehingga akan berdampak kepada produksi petani dan perusahaan. Yang terjadi di lapangan, petani mengurangi dosis untuk menjaga keseimbangan biaya pokok produksi tidak. Termasuk beberapa perusahaan melakukan penyesuaian dosis pemupukan karena lonjakan harga pupuk.
Berpijak dari masalah pupuk ini, diungkapkan Eddy, pelaku industri sawit termasuk petani yang tidak mendapatkan pupuk subsidi berharap adanya solusi dari pemerintah. Bukan berarti harus ada alokasi pupuk subsidi kepada perkebunan sawit. Solusinya produsen pupuk dapat diberikan insentif seperti penundaan pajak bahan baku pupuk. Tujuannya menjaga harga pupuk di dalam negeri dapat terjangkau bagi semua pihak.
Di bidang kemitraan, menurutnya, implementasi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 18/2021 mengenai Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar (FPKM) akan mempermudah pola kemitraan di perkebunan sawit. Lantaran adanya keterbatasan lahan sehingga perusahaan sawit punya pilihan program kemitraan yang akan berdampak positif bagi masyarakat.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 135)