Tahun 1997,krisis ekonomi luar biasa mendera Indonesia hingga membikin Presiden Soeharto harus lengser ke prabon. Tapi bagi petani kelapa sawit, krisis ini justru menjadi anugrah yang luar biasa. Sebab keberadaan kelapa sawit yang tadinya dianggap sebelah mata mendadak muncul menjadi primadona baru. Harga TBS yang semula hanya Rp. 500 perkilogram meroket hingga di atas Rp. 2.000 perkilogram.
Fenomena langka ini sontak membikin petani kebun kelapa sawit terperangah. Sebab hasil sawit yang tadinya Cuma bisa menopang dapur tetap ngebul, kini sudah bisa membeli macam-macam kebutuhan dan bahkan kemudian banyak petani mendadak kaya. Kondisi ini membuat cara berpikir masyarakat berubah. Yang sudah punya lahan buru-buru memper luas kebun kelapa sawitnya dan yang belum punya bersegera ikut menanam kelapa sawit. Bahkan yang hanya sekedar mendapat kabar kalau kelapa sawit di Riau sangat menjanjikan, pun mulai berdatangan.
Alhasil harga tanah sontak melambung. Kalau di bawah tahun 1997 harga sehektar kebun kelapa sawit yang sudah menghasilkan masih diangka Rp. 7 juta – Rp. 10 juta, setelah booming, harga kebun dengan luasan yang sama sudah menemus angka Rp. 70 juta sampai Rp. 100 juta. Singkat cerita, semua orang berlomba-lomba menanam sawit. Maka tak aneh jika di tahun 1994 luas kebun sawit Riau masih di angka 403 ribu hektar, dua tahun kemudian membengkak menjadi sekitar 550 ribu hektar.
Tahun 2000 angka tadi melonjak dua kali lipat dan hingga tahun 2010, laju pertumbuhan luasan kebun kelapa sawit di Riau bebar-benar sudah tak terbendung lagi; sudah bertengger di angka 2,1 juta hektar. Dinas Perkebunan Riau kemudian merilis bahwa hingga tahun 2015 luas kebun kelapa sawit perusahaan di Riau sudah mencapai angka 2.248.199.063 hektar. Luasan itu dikuasai oleh 327 perusahaan dengan 263 Pabrik Kelapa Sawit (PKS).
Penulis : Abdul Aziz