Pemerintah diminta bijak dalam membatasi kepemilikan lahan perkebunan sawit, karena komoditi ini strategis sekali. Sebaiknya, lebih didorong pola kemitraan antara koperasi dan pelaku usaha untuk meningkatkan kesejahteran di daerah.
Pemerintah berupaya mendorong pembatasan kepemilikan lahan milik perusahaan ke ranah hukum lebih tinggi. Hal ini tercantum dalam Rancangan Undang-undang Pertanahan yang masih digodok anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Abdul Hakam Naja,Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-undang Pertanahan, pembatasan lahan ini ditujukan supaya sesuai dengan prinsip konstitusi Indonesia untuk mendorong bumi, tanah, air dan seisinya bermanfaat bagi rakyat. Dengan adanya pembatasan lahan ini akan lebih banyak pelaku usaha yang bermain.
Berbicara perluasan lahan, menurut Abdul Hakam Naja, memang harus dipenuhi tetapi tidak boleh penguasaan lahan di tangan segelintir orang. “Kami menginginkan pengusaha di bidang sawit itu bisa lebih meluas, bukan menjadi penguasa pasar yang sangat besar,” ujarnya kepada SAWIT INDONESIA ketika ditemui di kantor.
Di dalam draf RUU Pertanahan pasal 27 ayat (1) disebutkan bahwa HGU diberikan kepada pemilik lahan minimal 5 hektare. Selanjutnya dijelaskan dalam ayat (2), Hak Guna Usaha dapat diberikan untuk satu badan hukum atau kelompok badan hukum dengan pemegang saham mayoritas dikuasai oleh satu orang dalam satu provinsi. Batas luasnya maksimal untuk semua komoditas perkebunan diberikan paling banyak 10.000 hektare. Sedangkan untuk lahan lahan pertanian atau tambak diberikan dengan maksimal 50 hektare.
Untuk skala nasional atau seluruh Indonesia, batas maksimal kepemilikan lahan perkebunan maksimal 50 ribu hektare. Pembatasan ini berlaku bagi badan hukum atau kelompok badan hukum yang saham mayoritas dikuasai satu orang yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana tercantum dalam pasal 3.
Menurut Abdul Hakam Naja, pembatasan lahan yang terdapat dalam RUU Pertanahan ini juga mengacu kepada peraturan Menteri Agraria Nomor 40 Tahun 1996 mengenai Hak Guna Usaha. Aturan pembatasan lahan ini tidak muncul begitu saja melainkan mengacu kepada regulasi lain.
“ Semangat kami untuk memperbaharui dan menata kepemilikan lahan jika tidak maka negara ini bisa salah urus,” kata Abdul Hakam Naja yang berasal dari Fraksi Partai Amanat Nasional.
Pembatasan kepemilikan lahan perkebunan khususnya kelapa sawit tercantum pula dalam draf revisi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007,yang terdapat di pasal 15. Dalam pasal ini diatur pembatasan penguasaan lahan yang dikelola perusahaan atau grup perusahaan.
Di rapat konsultasi publik revisi Permentan 26/2007 pada pertengahan Juni kemarin, batas lahan ini hanya berlaku untuk satu komoditas. Tidak ditetapkan kepada seluruh komoditas. Namun, rencana ini tidak mendapatkan sambutan baik dari pelaku usaha yang menilai pembatasan lahan ini mendukung iklim investasi. Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal Gapki, menilai investasi kalau memang ingin didorong sebaiknya pembatasan lahan jangan diterapkan. Jika lahan dibatasi, kebijakan ini malahan akan menimbulkan disentif kepada industri.
Dari data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, luas lahan sawit milik perusahaan swasta mencapai 4,74 juta hektare pada 2012. Luasan milik swasta ini naik dari tahun sebelumnya 4,65 juta hektare. Sementara itu, perkebunan rakyat memiliki lahan sawit seluas 3,77 juta hektare pada 2012 dari tahun 2011 yang arealnya 3,75 juta hektare.
Abdul Hakam Naja mengatakan masalah pembatasan lahan yang dicantumkan dalam RUU Pertanahan ini akan melewati studi kajian dulu. Caranya dilihat dulu anatomi dari permasalahan lahan ini misalkan berapa lahan tersedia, yang dapat digunakan di daerah mana saja, dan dimana lahan yang terlantar. Dirinya pun enggan kalau dikatakan RUU Pertanahan ini anti korporasi. Menurutnya, korporasi ini masih bisa hidup kalau ada pembatasan lahan entah itu 10.000 atau 50.000 hektare. Nanti, dilihat pula ketersediaan lahan yang belum didayagunakan berapa, dari segi kelayakan bisnis berapa setelah melewati serangkaian kajian hal tersebut akan menjadi dasar pembatasan lahan.
Achmad Mangga Barani, Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan,mengungkapkan pembatasan kepemilikan lahan ini bisa saja diberlakukan karena sudah menjadi amanat dari undang-undang. Namun, permasalahan ini perlu dicermati dengan benar karena sektor perkebunan telah mempunya rujukan di dalam Permentan 26 Tahun 2007. Pembatasan lahan dilakukan tetapi tidak dipukul rata secara langsung melainkan dilihat per komoditas.
Contohnya saja, komoditas tebu diberikan keluasaan sampai 150 ribu hektare bagi pelaku usahanya. Sedangkan, kelapa sawit dalam permentan 26 dimaksimalkan kepemilikan lahan sampai 100 ribu hektare. Achmad Mangga Barani menjelaskan pembatasan lahan seluas 100 ribu hektare ini dapat menopang kegiatan industri hilir sawit dalam menghasilkan produk turunan, dibandingkan minyak sawit mentah.
“Harus dilihat pula kehadiran perkebunan besar yang bermanfaat untuk menggerakkan perekonomian rakyat. Sawit ini komoditi yang berorientasi ekspor sehingga mesti ditopang perusahaan,” kata Mangga Barani dalam wawancara via telepon.
Sadino, Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan, mempertanyakan tujuan dan manfaat dari pembatasan lahan ini karena usaha kebun itu tidak semuanya pintar untuk mengelola. Efektivitas pembatasan lahan dalam satu holding perlu diragukan karena tata kelola korporasi itu beragam.
“Kalau dibatasi dalam satu kelompok, sejauh mana pemberi ijin dapat melihat lebih detail mengenai siapa pemilik perusahaan dan nama-nama pemegang sahamnya?” Tanya Sadino.
Sebenarnya yang perlu diperhatikan pemerintah, kata Sadino, bukan masalah lahan itu punya siapa tetapi kemampuan mengelola lahan. Lahan akan berkontribusi banyak kepada masyarakat asalkan dikelola benar.
Menurut Sadino, akan lebih baik kalau pemerintah mendorong kepemilikan saham antara perusahaan dan petani yang diwakili koperasi. Pasalnya, kebijakan pembatasan lahan kurang berjalan efektif di lapangan khususnya aspek pengawasan.
HAK SEWA UNTUK INVESTASI ASING
Usulan penting lain yang dicantumkan dalam draf RUU Pertanahan adalah pemberian hak sewa lahan untuk investor dari luar negeri. Abdul Hakam Naja memaparkan hak sewa ini diberikan supaya investor asing tidak menanamkan modal di sektor dasar tetapi lebih tinggi lagi. Misalkan saja, penanaman sawit itu kan sangat sederhana kenapa investasinya hanya diberikan kepada asing. Lebih baik perkebunan sawit dikelola untuk pengusaha dalam negeri sementara industri pengolahannya kepada modal asing.
“Kondisi sekarang kan terbalik, yang mudah dikuasai asing sehingga pengusaha dalam negeri menjadi pemain kelas dua. Artinya arah strategi investasi maupun pembangunan jangka panjang yang harus dibenahi,” jelas Abdul Hakam Naja.
Ditambahkan kembali, pengalaman yang sekarang terjadi yakni industri pertambangan, perbankan dikuasai asing. Dalam hal ini, perkebunan itu sangat strategis sekali karena terbukti Indonesia eksportir sawit terbesar di dunia.
Sadino menyepakati pemberian hak sewa kepada badan usaha asing sehingga tetap pemilik itu adalah bangsa Indonesia, jadi konsepsinya ini tidak semena-mena berkaitan dengan landbank. Secara ide bagus, tetapi implementasi harus disiapkan karena hak sewa itu hubungan keperdataan negara dengan badan hukum dan perorangan. (Qayuum Amri)