Panitia Kerja RUU Pertanahan berupaya mendorong pemerataan untuk mendapatkan lahan lewat dengan kebijakan pembatasan kepemilikan lahan. Harapannya, lahan tidak lagi dikuasai segelintir orang. Khusus untuk badan usaha asing akan diarahkan supaya lahan yang mereka gunakan berstatus hak sewa sehingga penguasaan lahan tidak sepenuhnya di tangan mereka.
Terobosan lain dalam aturan ini adalah munculnya pengadilan pertanahan untuk menyelesaikan konflik lahan di masyarakat. Meski demikian, aturan ini dinilai masih memiliki beberapa kelemahan dan berpotensi menciptakan konflik baru. Tim Redaksi SAWIT INDONESIA berkesempatan mewawancarai Abdul Hakam Naja, Ketua Panja RUU Pertanahan, berikut ini petikan wawancaranya:
Apa tujuan dan landasan munculnya RUU pertanahan ini apa?
Sebenarnya RUU pertanahan dibuat dengan merujuk kepada Tap MPR No IX/MPR/2001 mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, yang mengamanatkan segera dilakukan evaluasi dan satu proses menyeluruh terhadap untuk memberikan pertimbangan terhadap sektor agraria selama ini. Jadi, para pembuat undang-undang presiden dan DPR diminta merumuskan sehingga penyimpangan dan konflik agraria yang selama ini terjadi tidak berkelanjutan. Namun, dari rentang waktu sejak TAP MPR tersebut lahir sampai 2011 ini belum muncul aturan yang diharapkan tadi. Baru pada 2011, RUU ini dimasukan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2012 yang selanjutnya dirumuskan dan pada 2013 sudah menjadi isu legislatif DPR.
RUU ini terdiri dari berapa bab dan berapa pasal?
102 Pasal, 14 Bab, ini draf yang sedang dalam proses paripuna DPR.
RUU ini mengatur pembatasan lahan. Mengapa aspek ini menjadi hal penting?
Kita bicara mengenai pembatasan lahan karena prinsipnya konstitusi kita mendorong bahwa bumi, tanah, air dan seisinya berguna untuk rakyat, sehingga diharapkan lebih banyak orang yang dapat mengaksesnya bukan dikelola segelintir pelaku usaha.
Jadi misalnya dalam draf pemberian HGU untuk satu badan hukum diusulkan paling luas sebanyak 10.000 hektar untuk satu provinsi bagi seluruh komoditas perkebunan, dan 50.000 hektar untuk seluruh wilayah Indonesia. Kita memang membicarakan tentang perluasan lahan dan skala bisnis yang harus dipenuhi tetapi jangan sampai penguasaan itu berada pada segelintir saja sehingga nanti diharapkan pengusaha di bidang sawit itu bisa lebih meluas dan tidak terkumpul menjadi semacam penguasa pasar yang sangat besar.
Dalam RUU ini, akan dibatasi pula pembatasan lahan bagi investor asing yang akan berupa hak sewa bukan HGU. Jadi, HGU hanya diberikan kepada pengusaha dalam negeri. Maka, harusnya didorong kepada investor asing untuk tidak masuk di dalam perkebunan sawit tetapi industri pengolahan.
Dalam draf RUU pihak asing dapat memiliki hak sewa untuk berapa lama?
Ada sebenarnya nanti di undang-undang investasi, kalo tidak salah itu batasnya 60 tahun, dan bisa diperpanjang sampai 30 tahun. Sebenarnya sedang kita bicarakan tindak lanjutnya. Tapi intinya kita dorong untuk pihak asing ke level yang lebih tinggi, karena investasi di sektor itu merupakan sangat sederhana.
Idealnya, perkebunan sawit untuk pengusaha dalam negeri sedangkan industri pengolahannya kepada modal asing. Kondisi sekarang ini terbalik, yang mudah dikuasai asing sehingga pengusaha dalam negeri menjadi pemain kelas dua. Artinya arah strategi investasi maupun pembangunan jangka panjang yang harus dibenahi.
Apakah tidak khawatir kalau dikatakan aturan ini anti perusahaan?
Orang banyak bilang regulasi ini anti korporasi. Tapi korporasi masih tetap bisa hidup karena harus dilihat dulu pembatasan lahan seluas sepuluh ribu sampai lima puluh ribu hektare itu kan besar. Makanya, nanti lihat ketersediaan lahan yang belum didayagunakan berapa, dari segi kelayakan bisnis berapa, dari situlah menjadi dasar itu pembatasan. Semangat kami ini untuk mendorong pembaharuan dan penataan lahan, kalau tidak bisa salah urus negara kita ini. Dulu, ketika di zaman orde baru ada holding perusahaan holding yang menguasai 5 juta hektar,dan kabarnya sekarang terdapat perusahaan yang lahan sampai 12 juta hektar. Jadi harus dikembalikan kepada aspek ekonomi yang sesuai dengan konstitusi kita.
Sekarang ini, pemerintah sedang menyelesaikan Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2007 mengenai perijinan usaha perkebunan. Adapula Permen Agraria Nomor 40 Tahun 1996, apakah tidak dikhawatirkan akan bertabrakan dengan regulasi yang sudah ada ?
Nah, memang kami adopsi dari Permen Agraria Nomor 40 Tahun 1996 mengenai Hak Guna Usaha. Itu kami jadikan rujukan yang sekarang prosesnya sedang dikembangkan. Jadi begini, kalo itu perusahaan afiliasi maka yang terkena pembatasan satu entitas saja. Tentu nanti akan kita bahas ke pemerintah mengenai perusahaan yang terafiliasi ini. Karena pembangunan kita bagus tapi kesenjangan juga tinggi. Orang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Mestinya dengan kemajuan ekonomi yang tinggi kan harusnya bisa dinikmati hingga ke bawah.
Apakah sudah dipikirkan fungsi pengawasan apabila ketetapan pembatasan lahan benar-benar diterapkan?
Pola pengawasan ini akan dibahas bersama pemerintah lewat tujuh kementerian terkait karena hal ini merupakan masalah kompleks untuk pertanahan ini. Tentu kita akan bicarakan lebih dalam dan dilakukan sosialisasi ke publik.
Sebagai contoh, menteri yang berwenang di sektor pertanian yang akan ditanya cara membatasi lahan, berapa luasnya, ketersediaan lahan. Untuk itu, akan dilakukan kajian data berapa persen lahan yang dimiliki Indonesia sekarang ini.
Ada sanksi yang diberikan apabila ada pelanggaran pembatasan lahan dalam RUU ini dalam?
Jadi sanksi yang kita berlakukan terkait ada sanksi pidana, ada sanksi denda, dan paling terberat adalah sanksi pencabutan HGU. Opsi ini terlebih dahulu didiskusikan dengan pemerintah.
RUU Pertanahan ini penting untuk menjaga kedaulatan bangsa. Bagaimana pendapat Bapak?
Jadi intinya RUU pertanahan ini karena menyangkut hal yang mendasar adalah kekayaan yang pokok dimiliki oleh bangsa, tidak bisa dipindahtangankan karena memang berada di bumi Indonesia maka pengelolanya harus dengan cara yang sesuai prinsip-prinsip yang berkembang di Indonesia bahwa kita masyarakat yang bergotong royong dan ingin membangun kemandirian bangsa, ingin bangsa kita maju, dan ingin mengangkat sebagian besar masyarakat yang termarjinalkan. Oleh karenanya, tanah menjadi hal yang penting yang akan menolong dan membantu masyarakat Indonesia yang tidak memiliki lahan tetapi produktif berkerja dan tidak mendapatkan hak yang selama ini dikerjakan. Ini yang akan diturunkan dalam jadi turunan perundang-undangan.
Rencananya, RUU ini akan membentuk kelembagaan baru yang mengatur masalah pertanahan ? Tujuannya apa?
Iya kelembagaan yang baru akan muncul itu adalah peradilan pertanahan. Jadi banyaknya konflik itu kami pandang karena memang tidak tuntas ketika masuk peradilan umum. Akar masalah pertanahan ini kan sangat khas, sangat spesifik, berbeda dengan peradilan yang lain. Maka kami menginisiasi adanya peradilan pertanahan, hakimnya nanti campuran hakim karir dan hakim Ad Hoc sehingga nanti proses peradilan bisa lebih lancar, komperhensif karena bisa melibatkan orang yang memiliki kompetensi di bidang pertanahan. Nanti peradilan ini akan dibentuk di setiap provinsi. (Anggar Septiadi/Qayuum)