JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Sebagai provinsi sentra perkebunan sawit terbesar di Indonesia, Riau menjadi garda terdepan dalam perbaikan tata niaga harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit petani. Hal ini dibuktikan dengan langkah Syamsuar, Gubernur Riau yang mengirimkan surat kepada Menteri Pertanian RI, Syahrul Yasin Limpo, yang mengusulkan peninjauan ulang Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Pekebun.
Surat bernomor 526/Disbun/7393 ini dalam pembukaannya menjelaskan bahwa dalam penetapan pembelian harga TBS yang dilaksanakan oleh Pemprov Riau melalui Tim Penetapan Pembelian Harga TBS Produksi Pekebun di provinsi Riau telah mengacu kepada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/2018 dan Peraturan Gubernur.
Berdasarkan hasil telaah terhadap implementasi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/2018 dan masukan dari berbagai pihak serta memperhatikan kondisi terkini perkebunan sawit di Riau, ada 6 usulan yang disampaikan Gubernur Syamsuar sebagai upaya perbaikan ulang terhadap Permentan 01/2018.
Pertama, Kepastian/Ketegasan istilah pekebun yang ternaungi dalam harga ditetapkan di tingkat provinsi. Sebagaimana penggunaan istilah pekebun dalam pasal 1, pasal 2, pasal 3, pasal 6, pasal 7, pasal 12, pasal 15, pasal 16, dan pasal 18. Karena ada perbedaan definisi pekebun dalam aturan ini, sebagian pihak menafsirkan pekebun adalah seluruh pekebun kelapa sawit dan sebagian lain berpendapat bahwa dimaksud pekebun yaitu pekebun yang terjalin kemitraan terikat kerjasama dengan industri pengolahan sawit.
Kedua, belum ada pasal yang bersifat mandatori terhadap pabrik sawit untuk membeli TBS dari pekebun yang telah bermitra dengan pabrik sawit tersebut. Kondisi ini menyebabkan pabrik sawit leluasa membeli TBS dari berbagai pihak tanpa disertai kewajiban pembinaan petani, selain itu mengakibatkan legalitas TBS yang dibeli pabrik sulit dipertanggungjawabkan.
Ketiga, dibutuhkan petunjuk teknis lebih detil terhadap komponen yang diperhitungkan dalam penetapan harga TBS baik BOL (Biaya Operasional Langsung) dan BOTL (Biaya Operasional Tidak Langsung). Lalu dibutuhkan penegasan terhadap kewajiban perusahaan untuk melaporkan komponen biaya secara transparan dan tepat waktu.
Keempat, dalam pengawasan terhadap harga yang ditetapkan maka perlu diatur kewajiban pengawasan yang harus dilakukan pemerintah provinsi maupun kota. Lalu dibutuhkan pengaturan kewajiban pabrik sawit untuk menerima kegiatan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah.
Kelima, khusus penggunaan BOTL dibutuhkan adanya pasal tentang penegasan terhadap kewajiban perusahaan untuk melakukan pembinaan kepada pekebun mitranya.
Keenam, perlu ada pasal Sanksi, kami mengusulkan agar setiap kewajiban melekat baik di pabrik sawit dan pekebun disertai sanksi jelas. Tujuannya agar peraturang yang diterbitkan pemerintah dapat mengikat dan menjadi kewajiban semua pihak terkait untuk mengikuti dan mempedomaninya.