JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Togar Sitanggang menyampaikan bahwa dirinya dijadikan tersangka sebagai dampak regulasi pemerintah yang berubah cepat dan inkonsisten. Hal ini disampaikannya dalam nota pembelaan (pledoi) setelah dirinya menghadapi tuntutan pidana penjara selama 11 tahun ditambah pidana denda sebanyak Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (28 Desember 2022).
Dalam pembelaannya, ditegaskan Togar bahwa dirinya menjadi korban dari kebijakan Kementerian Perdagangan yang cepat berubah. Khususnya Peraturan Menteri Perdagangan di era Muhammad Lutfi yang sangat cepat berganti rupa. Ketika satu regulasi terbit tetapi industri belum sempat mempersiapkan diri tiba-tiba aturan berubah lalu muncul Permendag lain.
Dikatakan Togar Sitanggang, para pelaku industri hanya mencari solusi terhadap terjadinya kelangkaan minyak goreng. “Bukan untuk menciptakan kelangkaan minyak goreng seperti yang dituduhkan kepada kami,” katanya seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Selain itu, ia mengatakan penetapan dirinya sebagai tersangka dilakukan seperti suatu kesengajaan. Saat membacakan pledoinya, Togar menguraikan proses kedatangannya ke Kejaksaan Agung sejak 19 April 2022 dengan penuh detail. Awal mula kedatangannya dengan menaiki taksi sambil membawa sekardus berkas realisasi penyaluran minyak goreng, pemeriksaan dan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Jaksa Penyidik. Lalu sampai dirinya ditetapkan sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya.
“Ini seperti ada pengaturan yang membuat kami menjadi tersangka. Dalam BAP dikatakan semua tetapi yang dipilih hanya 3,” ujar Togar membacakan pledoi.
Menurutnya, pekerjaan dirinya bersama terdakwa lain sama-sama sebagai Corporate/General Affair. Di aturan ini, peranan mereka hanya menjadi penghubung dan tidak mengerjakan dokumen atau administrasi mengenai pungutan ekspor.
“Kami hanya menanyakan beberapa PE yang sudah diajukan dan mengoreksi apakah ada yang salah, dan lain lain. Hanya itu saja,” tambahnya.
Dari dokumen Permohonan Persetujuan Ekspor (PE) yang dimilikinya, terdapat beberapa grup perusahaan yang juga melakukan penjualan antar afiliasi, yang menjadi salah satu dakwaan Jaksa Penuntut Umum kepadanya. Akan tetapi grup-grup perusahaan tersebut tidak ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi migor ini. Hanya Togar dan dua tersangka lain saja yang ditetapkan sebagai tersangka lalu terdakwa.
Sejak awal, Togar dan para pelaku usaha industri kelapa sawit Indonesia sudah menyampaikan keberatan terhadap rencana kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang dirilis pemerintah lewat Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Ia menyebutkan terdapat beberapa alasan mengapa munculnya keberatan atas kebijakan pemerintah tersebut.
“Disparitas harga terlalu besar antara DMO terhadap harga keekonomian pasar. Hal ini berpotensi menimbulkan penyeludupan, baik ekspor maupun ke industri, yang diharuskan membeli dengan harga keekonomian tadi,” jelas Togar.
Menurutnya, penekanan program DMO/DPO hanya pada tingkat produsen minyak goreng, tidak ada DMO/DPO pada level hulu, yaitu produsen CPO padahal sumber bahan baku minyak goreng adalah hasil perkebunan sawit yaitu CPO.
Berkaitan pertemuan di ruangan Dirjen, ditegaskan Togar, pembahasan berkaitan mengatasi kelangkaan minyak goreng.”Jadi pertemuan ini membahas upaya menyelesaikan persoalan minyak goreng, bukannya menciptakan kelangkaan,” pungkasnya.