Pekebun disarankan menerapkan penggunaan herbisida secara terpadu untuk mengurangi dampak buruk kepada pengguna dan lingkungan. Salah satunya, merotasi penggunaan bahan aktif parakuat dan glifosat sehingga tidak muncul gulma jenis baru.
Di Indonesia, parakuat dan glifosat adalah bahan aktif herbisida yang mudah dijumpai pemakaiannya di perkebunan kelapa sawit. Diperkirakan, hampir 80% pengguna herbisida berbahan aktif glifosat berasal dari sektor perkebunan. Sementara itu, belum diketahui secara pasti berapa jumlah herbisida berbasis paraquat yang beredar di perkebunan sawit.
Saat ini, terjadi perdebatan dalam penggunaan herbisida dari parakuat. Sebagai informasi bahwa herbisida berbahan aktif parakuat diklorida terdaftar dan diizinkan pertama kali di Indonesia pada 1973. Jenis herbisida ini telah terdaftar untuk digunakan kepada tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan seperti kelapa sawit.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengkategorikan parakuat masuk kelas II (Tingkat Bahaya Sedang) sebagaimana kebanyakan bahan aktif pestisida yang digunakan di dunia. Di Indonesia, parakuat ditetapkan sebagai pestisida terbatas berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomer 24 Tahun 2011 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida.
Mulyadi Benteng, Ketua Aliansi Stewardship Herbisida Terbatas (AliSHTer), mengatakan semua bahan aktif herbisida memang berbahaya apabila tidak digunakan secara baik. Parakuat kerapkali ditampilkan dalam imej buruk bahwa menimbulkan bahaya dari aspek toksisitas terhadap lingkungan dan manusia.
“Tidak semua informasi negatif mengenai parakuat itu benar. Itu sebabnya, parakuat ini sifatnya pestisida terbatas,” kata Mulyadi Benteng kepada SAWIT INDONESIA.
Lebih lanjut, kata Mulyadi, lantaran dikategorikan pestisida terbatas maka para pengguna perlu memperoleh pelatihan cara penggunaan pestisida secara aman dan bertanggung jawab. Setiap tahun, lebih kurang 750 ribu petani dilatih oleh para pemegang pendaftaran. Pelatihan ini merupakan langkah tepat dalam pengelolaan risiko pestisida untuk menjamin agar parakuat (dan pestisida lainnya) digunakan secara aman dan efektif.
Kelahiran AliSHTer diinisiasi Himpunan Masyarakat Pestisida Nasional dan CropLife Indonesia pada Juli 2015. Berdirinya asosiasi ini didukung pemerintah untuk menjawab informasi negatif mengenai bahaya parakuat dan glifosat.
“Harus disadari, semua bahan aktif herbisida itu berbahaya karena berasal dari bahan kimia. Bahaya ini bisa muncul apabila tidak dikelola dan digunakan secara baik,”jelas Mulyadi Benteng.
Mulyadi Benteng menceritakan dalam forum internasional di Jenewa pada tahun ini, parakuat masuk sebagai bahan aktif yang diawasi penggunaannya. Di forum tersebut, perwakilan dari Indonesia berasal dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa di Indonesia penggunaan paraquat tidak berakibat buruk seperti di negara lain yang membuat penggunanya meninggal atau keracunan. Selanjutnya, kata Mulyadi, pemerintah meminta asosiasi membuat studi mengenai penggunaan parakuat beserta dampaknya.
“Studi ini akan dikerjakan lembaga independen bukan asosiasi. Untuk saat ini, tidak bisa dikatakan kalau parakuat menimbulkan kematian karena datanya belum pasti,” kata Mulyadi.
Berdasarkan data yang dikumpulkan AliSHTer, otoritas regulasi pestisida di dunia seperti WHO dan FAO bahwa parakuat diklorida tidak bersifat genotoksin, tidak karsinogenik, tidak teratogenik, bukan racun reproduksi, bukan racun saraf, tidak mengganggu kelenjar endokrin, serta tidak menjadi faktor risiko bagi penyakit Parkinson.
(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Desember 2015-15 Januari 2016)