MERAUKE, SAWIT INDONESIA – Masyarakat Pemilik Hak Ulayat di Merauke dan Boven Digoel mendesak perusahaan sawit di wilayahnya untuk membuka lahan plasma. Selain itu, masyarakat mendukung investasi yang bertujuan menyejahterakan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan.
Pernyataan ini diungkapkan dalam Stakeholder Meeting II mengenai Pembangunan Kebun dan Industri Kelapa Sawit yang diadakan Pemerintah Kabupaten Merauke di Merauke yang diadakan pada Selasa (15/8/2017). Kegiatan ini menyambung Stakeholders Meeting I di Jakarta pada 24 Juli lalu di Jakarta terkait pertemuan para pemangku kepentingan atas praktek-praktek industri kelapa sawit khususnya di Kabupaten Merauke dan Boven Digoel, Papua.
Hadir dalam pertemuan tersebut adalah Bupati Merauke, Frederikus Gebze SE, MSi, masyarakat pemilik hak ulayat di Merauke dan perwakilan dari Boven Digoel, anggota DPD RI asal Papua, Mesakh Mirin, DPRD Merauke, rohaniwan, perwakilan Komnas HAM RI untuk Papua, Frits Ramandey, Dinas-dinas terkait dan beberapa perwakilan perusahaan sawit. Selaku moderator forum kali ini adalah DR. Agus Sumule yang merupakan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Papua.
Dalam pertemuan kedua dari para pemangku kepentingan kali ini menyepakati 5 hal yaitu pertama pentingnya investasi bagi kemajuan daerah dan pengentasan kemiskinan – termasuk di dalamnya investasi untuk pengembangan kebun dan industri kelapa sawit yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, ramah lingkungan, dan memberi manfaat khususnya bagi masyarakat hukum adat yang wilayahnya digunakan untuk pembangunan kebun dan industri kelapa sawit.
Kesepakatan Kedua, kebun plasma, sesuai komitmen perusahaan kepada masyarakat hukum adat, perlu segera direalisasikan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yaitu sebesar 20% dari total lahan yang telah disetujui oleh pemerintah.
Ketiga, Masyarakat hukum adat dan masyarakat luas pada umumnya perlu memperoleh akses seluas-luasnya ke kebijakan pemerintah mengenai pembangunan kebun dan industri kelapa sawit, termasuk pula kebijakan perusahaan dan perjanjian hukum perusahaan dengan masyarakat hukum adat.
Hasil keempat, mendorong pihak LSM, masyarakat, pemerintah dan perusahaan untuk terus membangun dialog yang terbuka, setara dan konstruktif dalam rangka mengkaji dan memecahkan masalah demi kemajuan masyarakat hukum adat maupun yang terdampak pembangunan kebun dan industri kelapa sawit.
Dan terakhir, mendorong pemerintah, perusahaan kelapa sawit, LSM dan lembaga-lembaga yang berkompeten untuk mengembangkan alternatif-alternatif lain yang memungkinkan masyarakat hukum adat memperoleh manfaat sosial, ekonomi dan budaya, yang lebih besar dan lebih berdimensi jangka panjang.