Sebagian besar anggota RSPO menerima revisi prinsip dan kriteria yang baru. Tetapi, tidak mudah untuk menjalankannya. Ada anggota yang berencana keluar karena revisi ini dinilai kian memberatkan.
Datuk Dr Makhdzir Mardan, Chief Executive Malaysian Palm Oil Association (MPOA), tidak dapat menyembunyikan rasa kecewanya dengan keputusan Extraordinary General Assembly (EGA) di Kuala Lumpur, pada pertengahan April 2013. Lantaran disetujuinya kriteria emisi gas rumah kaca ke dalam revisi prinsip dan kriteria 2013. Selain adanya lima kriteria tambahan antara lain pestisida, lahan gambut, kerja paksa, hak asasi manusia, dan korupsi.
Menurutnya, banyak perusahaan kelapa sawit Malaysia yang juga termasuk pendiri RSPO, yang tidak setuju dengan kriteria gas emisi rumah kaca dan belum siap untuk menerapkan ketentuan baru ini.
“Para pemangku kepentingan RSPO sangat begitu peduli dengan lingkungan tetapi mengapa mereka tidak simpatik dengan efek sosial ekonomi yang diciptakan perusahaan, petani, dan pekerja sawit,” seperti dikutip dari harian The Star.
Dalam pertemuan EGA, anggota yang hadir mencapai 220 anggota dari tujuh sektor perwakilan antara lain growers, konsumen, processor, ritel, NGO lingkungan, NGO sosial, dan perbankan. Hampir 210 anggota menyetujui revisi prinsip dan kriteria tersebut, sisa anggota ada yang menolak dan abstain.
Sekadar mengingatkan, dalam sidang umum RSPO yang dilaksanakan di Kuala Lumpur pada 2009, usulan mengenai kriteria gas emisi rumah kaca sempat diwacanakan. Tetapi, kandas setelah mendapatkan kritikan dari produsen atau growers yang waktu itu dimotori GAPKI. Pertimbangan, kriteria ini mesti ditolah karena belum ada dasar ilmiah dan kajian yang kuat untuk menghitung pelepasa karbon di perkebunan sawit.
Bambang Dwilaksono, Head of Sustainability Firs Resources Ltd, mengakui kriteria 7 yakni emisi gas rumah kaca atau GHG yang paling berat dan menantang untuk diterapkan produsen kelapa sawit. Didalam kriteria tadi disebutkan “pengembangan perkebunan baru didesain untuk meminimalkan emisi gas rumah kaca”. Berikutnya dalam penjelasan kriteria 7.8.1 disebutkan stok karbon di wilayah pengembangan baru yang diusulkan dan sumber potensi pengeluaran emisi yang mungkin timbul secara langsung dari pengembangan tadi harus diidentifikasi dan diperkirakan.
Di kriteria 7.8.2, ditambahkan bahwa harus ada rencana untuk meminimalkan emisi gas rumah kaca bersih dengan memperhitungkan untuk menghindari penggunana lahan dengan stok karbon tinggi dan / atau melakukan opsi penyerapan.
Nantinya, dalam pengembangan lahan baru tadi harus dilakukan penilaian nilai konservasi tinggi dan stok karbon. Tak hanya itu, RSPO juga menyediakan GHG Palm Calculator yang merupakan alat untuk menghitung tingkat emisi karbon yang dikeluarkan dari pembukaan lahan baru.
Bambang Dwilaksono menilai dari kriteria tersebut untuk areal pengembangan yang akan diajukan harus dilakukan penilaian stok karbon tinggi, yang sebelumnya hanya perlu dilakukan penilaian nilai konservasi tinggi atau HCV saja. Anggota RSPO dari kalangan produsen diwajibkan untuk meminimalisir emisi GHG. Sehingga, perlu komitmen yang kuat dan tangguh dari growers bila ingin melaksanakan kriteria
Desi Kusumadewi, Direktur RSPO Indonesia, menjelaskan emisi gas rumah kaca dimasukkan ke dalam kriteria baru ini atas dasar permintaan konsumen yang ingin mengetahui rekam jejak karbon (carbon footprint) dari produk yang mereka gunakan. Itu sebabnya, kalangan manufaktur yang menjadi penghasil end product ingin mengkomunikasikan masalah emisi ini kepada konsumennya. “Selain itu, masalah emisi karbon sudah menjadi isu global pula,” ujar Desi kepada SAWIT INDONESIA.
Menurutnya,salah satu upaya menekan emisi gas rumah kaca dapat dilakukan dengan menghindari penggunaan lahan gambut untuk pengembangan lahan baru. Diakui revisi tahun 2013 lebih ketat dibandingkan prinsip dan kriteria sebelumnya yang tidak menyebutkan lahan gambut di dalam kriteria. Larangan pemakaian lahan gambut ini sudah berdasarkan hasil kompromi berbagai pihak yang terlibat di dalam RSPO.
Di Indonesia, berdasarkan data Wetland International bahwa luas lahan gambut di Indonesia mencapai 20,6 juta hektare atau 10,8% dari luas daratan Indonesia. Secara global, lahan gambut dikatakan menyimpan 550 gigaton karbon dalam lapisan tanah organiknya.
Edi Suhardi, Coordinator Indonesian Growers Caucus RSPO, menyatakan masuknya kriteria GHG ini tidak terlepas dari isu perubahan iklim dan pemanasan global yang bersifat seksis. Bagi LSM lingkungan yang berpandangan perubahan iklim bukanlah mitos, menganggap pembukaan lahan baru itu akan merubah stok karbon tinggi. Itu sebabnya, mereka menilai keseluruhan siklus perkebunan sawit itu menjadi penyumbang emisi terbesar, apabila memakai lahan gambut dan hutan sekunder.
“Produsen CPO Indonesia yang menjadi anggota RSPO merasa termarginalkan karena dijadikan objek dari kriteria tersebut. Di sisi lain, sebenarnya growers meminta prinsip dan kriteria RSPO lebih praktis lagi dengan tetap berwawasan lingkungan,” ujar dia.
Bisa dikatakan posisi produsen serba salah untuk menerima atau menolak isu GHG, karena telah menjadi perhatian dunia. Bahkan negara sekelas Indonesia yang masuk ke dalam negara berkembang berani menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sampai 26% secara sukarela. Kendati demikian, negara maju yang berada di kawasan Amerika dan Uni Eropa sebagai penyumbang emisi karbon tertinggi di dunia, masih enggan memenuhi kewajibannya dalam menekan emisi gas rumah kaca.
Walaupun belum berkomitmen, negara maju seperti Amerika Serikat lebih senang untuk menghambat perdagangan produk kelapa sawit, lewat penetapan batas pengeluaran emisi karbon. Seperti diketahui, pada awal tahun lalu, Environment Protection Agency (EPA) mengeluarkan dokumen Notice of Data Availability Environmental Protection Agency (NODA), yang menyebutkan bahwa batas maksimal kelapa sawit untuk menekan emisi gas rumah kaca sebesar 17 persen. Sedangkan, lembaga ini mewajibkan emisi karbon kelapa sawit dapat ditekan minimal 20 persen supaya dapat menjadi bahan baku bahan baku biofuel di negara paman sam ini. Sayangnya, EPA tidak memiliki basis data valid yang dapat menunjukkan kemampuan kelapa sawit untuk meminimalisir gas rumah kaca.
BERSIFAT PELAPORAN
Setelah prinsip dan kriteria RSPO diadopsi, proses selanjutnya akan dilakukan interpretasi nasional di dua negara yaitu Indonesia dan Malaysia. Cara ini ditempuh guna menjamin ketentuan RSPO tidak berlawanan dengan regulasi nasional di setiap negara. Penyusunan interpretasi nasional ditargetkan dapat selesai dalam jangka waktu satu tahun ke depan.
Untuk menghitung emisi karbon, RSPO telah menyediakan GHG Palm Calculator yang dapat menghitung pengeluaran karbon dari pengembangan lahan baru. Alat penghitungan karbon dihasilkan dari tim GHG yang berasal dari anggota RSPO. Desi Kusumadewi mengklaim sudah ada ujicoba GHG Palm Calculator yang dilakukan beberapa perusahan di Indonesia dan Malaysia. Namun, dirinya enggan menyebutkan tempat lokasi dan perusahaan sawitnya. Penghitungan emisi karbon ini akan diketahui dari penggunaan pupuk non organik, pengelolaan limbah sawit. Dari sini akan diketahui apakah hasilnya plus atau minus yang bergantung cara anggota mengelola kebun.
RSPO sendiri belum mau menetapkan ambang batas (threshold) pengeluaran karbon dari lahan sawit. Desi Kusumadewi menyebutkan anggota RSPO hanya diminta melaporkan dulu tingkat pengeluaran emisi karbonnya sampai batas waktu 31 Desember 2016. Sehingga proses yang dibangun lebih bersifat proses keberlanjutan dan tidak ada penetapan batas. Oleh karena itu, tidak ada standar pembatasan karbon secara global sehingga berdasarkan kepada hasil penghitungan karbon perusahaan.
“Hasil uji emisi akan dilaporkan kepada publik tidak sebatas RSPO. Dari situ, anggota akan terpicu untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya, setelah membandingkan dengan perusahaan lain,” ujar Desi.
Bambang Dwilaksono, menyatakan sebelum batas waktu yang ditentukan pihaknya berencana membuat program (tujuan, sasaran dan target waktu) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca implementasi, dan monitoring.
KELUAR ATAU BERTAHAN
Semakin beratnya beban yang dipikul anggota RSPO berimbas kepada keinginan beberapa anggotanya untuk berhenti. Di Malaysia, harian The Star memberitakan dua anggota MPOA yang berasal dari perusahan kelapa sawit terbesar di Malaysia sudah mengajukan opsi untuk keluar dari RSPO. Jumlah anggota MPOA mencapai 130 perusahaan yang beberapa diantaranya perusahaan kelapa sawit terkemuka di dunia antara lain Sime Darby Bhd, IOI Corp Bhd, Kuala Lumpur Kepong Bhd, United Plantations Bhd and Felda Global Ventures Holdings Bhd.
Bahkan, dilaporkan pula MPOA secara institusi akan menunjukkan sikap tegasnya kepada RSPO. Mengikuti langkah GAPKI yang dua tahun lalu mundur dari RSPO. Kalangan pemangku kepentingan industri sawit negeri jiran berencana pula membuat Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) seperti kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Makhdzir Mardan mengatakan pihaknya tidak terlalu bodoh dengan menyetujui kriteria yang nantinya akan membebankan banyak biaya kepada produsen sawit di Malaysia. Biaya ini dikenakan atas nama perlindungan hutan tropis atau penyelamatan dunia dari dampak perubahan iklim, yang berlindung di balik isu keberlanjutan.
Menurut Bambang Dwilaksono, kriteria emisi gas rumah kaca berpotensi memperlambat pengembangan areal baru, dan membuka pintu komplain dari pihak di luar indsutri sawit apabila kriteria tersebut dilanggar.
Namun demikian, menurutnya, semakin ketatnya prinsip dan kriteria RSPO, termasuk gas emisi rumah kaca ini menjadikan sertifikat minyak sawit RSPO atau CSPO akan menjadi produk yang ekslusif di pasaran, karena hanya perusahaan yang benar-benar berkomitmen untuk melakukan pengembangan areal secara sustainable yang mampu berkontribusi memberikan pasokan CSPO.
“Tapi perlu komitmen kuat dari rantai pasok hilir untuk mau menggunakan dan membeli CSPO dengan harga yang layak serta membantu growers dalam memenuhi prinsip dan kriterianya,” jelas Bambang Dwilaksono.
Edi Suhardi mengakui ke depan pelaksanaan prinsip dan kriteria RSPO akan semakin ketat terhadap anggotanya. Karena setiap anggota diwajibkan untuk melaporkan code of conduct dan time bound kepada executive board RSPO, yang bertujuan memperlihatkan komitmen anggota dari growers kapan sudah disertifikasi kebunnya. Langkah ini diambil supaya RSPO tidak lagi dinilai sebagai “tempat cuci tangan” perusahaan perkebunan yang nakal. (Qayuum Amri)